Kamis, 29 Juli 2010

Orangutan

http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_utan

Orang utan (atau orangutan, nama lainnya adalah mawas) adalah sejenis kera besar dengan lengan panjang dan berbulu kemerahan atau cokelat, yang hidup di hutan tropika Indonesia dan Malaysia, khususnya di Pulau Kalimantan dan Sumatera.

Deskripsi
Istilah "orang utan" diambil dari bahasa Melayu, yang berarti manusia (orang) hutan. Orang utan mencakup dua spesies, yaitu orang utan sumatera (Pongo abelii) dan orang utan kalimantan (borneo) (Pongo pygmaeus). Yang unik adalah orang utan memiliki kekerabatan dekat dengan manusia pada tingkat kingdom animalia, dimana orang utan memiliki tingkat kesamaan DNA sebesar 96.4%.

Ciri-Ciri
Mereka memiliki tubuh yang gemuk dan besar, berleher besar, lengan yang panjang dan kuat, kaki yang pendek dan tertunduk, dan tidak mempunyai ekor.

Orangutan memiliki tinggi sekitar 1.25-1.5 meter.

Tubuh orangutan diselimuti rambut merah kecoklatan. Mereka mempunyai kepala yang besar dengan posisi mulut yang tinggi.

Saat mencapai tingkat kematangan seksual, orangutan jantan memiliki pelipis yang gemuk pada kedua sisi, ubun-ubun yang besar, rambut menjadi panjang dan tumbuh janggut disekitar wajah. Mereka mempunyai indera yang sama seperti manusia, yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecap, dan peraba.

Berat orangutan jantan sekitar 50-90 kg, sedangkan orangutan betina beratnya sekitar 30-50 kg.

Telapak tangan mereka mempunyai 4 jari-jari panjang ditambah 1 ibu jari. Telapak kaki mereka juga memiliki susunan jari-jemari yang sangat mirip dengan manusia.

Orangutan masih termasuk dalam spesies kera besar seperti gorila dan simpanse. Golongan kera besar masuk dalam klasifikasi mammalia, memiliki ukuran otak yang besar, mata yang mengarah kedepan, dan tangan yang dapat melakukan genggaman.

Klasifikasi
Orangutan termasuk hewan vertebrata, yang berarti bahwa mereka memiliki tulang belakang. Orangutan juga termasuk hewan mamalia dan primata.

Spesies dan Subspesies
  1. Ada 2 jenis spesies orangutan, yaitu orangutan Kalimantan/Borneo (Pongo pygmaeus) dan Orangutan Sumatra (Pongo abelii).
  2. 2. Keturunan Orangutan Sumatra dan Kalimantan berbeda sejak 1.1 sampai 2.3 juta tahun yang lalu.
  3. 3. Subspecies
  • Orangutan Kalimantan Tengah (P.p.wurmbii) mendiami daerah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.[9] Mereka merupakan subspesies Borneo yang terbesar.
  • Orangutan Kalimantan daerah Timur Laut (P.p.morio) mendiami daerah Sabah dan daerah Kalimantan Timur. Mereka merupakan subspesies yang terkecil.
  • Saat ini tidak ada subspecies orangutan Kalimantan yang berhasil dikenali.

Lokasi dan habitat
Orang utan di Taman Nasional Kutai

Orangutan ditemukan di wilayah hutan hujan tropis Asia Tenggara, yaitu di pulau Borneo dan Sumatra di wilayah bagian negara Indonesia dan Malaysia. Mereka biasa tinggal di pepohonan lebat dan membuat sarangnya dari dedaunan. Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpus perbukitan dan dataran rendah, daerah aliran sungai, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan pegunungan. Di Borneo, orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatra dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada 1.000 m dpl.
Orangutan Sumatra (Pongo abelii lesson) merupakan salah satu hewan endemis yang hanya ada di Sumatra. Orangutan di Sumatra hanya menempati bagian utara pulau itu, mulai dari Timang Gajah, Aceh Tengah sampai Sitinjak di Tapanuli Selatan. Keberadaan hewan mamalia ini dilindungi Undang-Undang 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan digolongkan sebagai Critically Endangered oleh IUCN. Di Sumatra, salah satu populasi orangutan terdapat di daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru, Sumatra Utara. Populasi orangutan liar di Sumatra diperkirakan sejumlah 7.300. Di DAS Batang Toru 380 ekor dengan kepadatan pupulasi sekitar 0,47 sampai 0,82 ekor per kilometer persegi. Populasi orangutan Sumatra (Pongo abelii lesson) kini diperkirakan 7.500 ekor. Padahal pada era 1990 an, diperkirakan 200.000 ekor. Populasi mereka terdapat di 13 daerah terpisah secara geografis. Kondisi ini menyebabkan kelangsungan hidup mereka semakin terancam punah. Saat ini hampir semua Orangutan Sumatra hanya ditemukan di Provinsi Sumatra Utara dan Provinsi Aceh, dengan Danau Toba sebagai batas paling selatan sebarannya. Hanya 2 populasi yang relatif kecil berada di sebelah barat daya [danau], yaitu Sarulla Timur dan hutan-hutan di Batang Toru Barat. Populasi orangutan terbesar di Sumatra dijumpai di Leuser Barat (2.508 individu) dan Leuser Timur (1.052 individu), serta Rawa Singkil (1.500 individu).Populasi lain yang diperkirakan potensial untuk bertahan dalam jangka panjang (viable) terdapat di Batang Toru,Sumatra Utara, dengan ukuran sekitar 400 individu.
Orangutan di Borneo yang dikategorikan sebagai endangered oleh IUCN terbagi dalam tiga subspesies: Orangutan di Borneo dikelompokkan ke dalam tiga anak jenis, yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus yang berada di bagian utara Sungai Kapuas sampai ke timur laut Sarawak; Pongo pygmaeus wurmbii yang ditemukan mulai dari selatan Sungai Kapuas hingga bagian barat Sungai Barito; dan Pongo pygmaeus morio. Di Borneo, orangutan dapat ditemukan di Sabah, Sarawak, dan hampir seluruh hutan dataran rendah Kalimantan, kecuali Kalimantan Selatan dan Brunei Darussalam.

Makanan
Meskipun orangutan termasuk hewan omnivora, sebagian besar dari mereka hanya memakan tumbuhan. 90% dari makanannya berupa buah-buahan. Makanannya antara lain adalah kulit pohon, dedaunan, bunga, beberapa jenis serangga, dan sekitar 300 jenis buah-buahan

Selain itu mereka juga memakan nektar,madu dan jamur. Mereka juga gemar makan durian, walaupun aromanya tajam, tetapi mereka menyukainya.

Orangutan bahkan tidak perlu meninggalkan pohon mereka jika ingin minum. Mereka biasanya meminum air yang telah terkumpul di lubang-lubang di antara cabang pohon.

Biasanya induk orangutan mengajarkan bagaimana cara mendapatkan makanan, bagaimana cara mendapatkan makanan, dan berbagai jenis pohon pada musim yang berbeda-beda. Melalui ini, dapat terlihat bahwa orangutan ternyata memiliki peta lokasi hutan yang kompleks di otak mereka, sehingga mereka tidak menyia-nyiakan tenaga pada saat mencari makanan. Dan anaknya juga dapat mengetahui beragam jenis pohon dan tanaman, yang mana yang bisa dimakan dan bagaimana cara memproses makanan yang terlindungi oleh cangkang dan duri yang tajam.

Predator
Predator terbesar orangutan dewasa ini adalah manusia. Selain manusia, predator orangutan adalah macan tutul, babi, buaya, ular phyton, dan elang hitam.

Cara melindungi diri
Orangutan termasuk makhluk pemalu. Mereka jarang memperlihatkan dirinya kepada orang atau makhluk lain yang tak dikenalnya.

Reproduksi
Orangutan betina biasanya melahirkan pada usia 7-10 tahun dengan lama kandungan berkisar antara 8,5 hingga 9 bulan; hampir sama dengan manusia. Jumlah bayi yang dilahirkan seorang betina biasanya hanya satu. Bayi orangutan dapat hidup mandiri pada usia 6-7 tahun. Kebergantungan orangutan pada induknya merupakan yang terlama dari semua hewan, karena ada banyak hal yang harus dipelajari untuk bisa bertahan hidup, mereka biasanya dipelihara hingga berusia 6 tahun.

Orangutan berkembangbiak lebih lama dibandingkan hewan primata lainnya, orangutan betina hanya melahirkan seekor anak setiap 7-8 tahun sekali. Umur orangutan di alam liar sekitar 45 tahun, dan sepanjang gidupnya orangutan betina hanya memiliki 3 keturunan seumur hidupnya. Dimana itu berarti reproduksi orangutan sangat lambat.

Cara bergerak
Orangutan dapat bergerak cepat dari pohon ke pohon dengan cara berayun pada cabang-cabang pohon, atau yang biasa dipanggil brachiating. Mereka juga dapat berjalan dengan kedua kakinya, namun jarang sekali ditemukan. Orang utan tidak dapat berenang.

Cara Hidup
Tidak seperti gorila dan simpanse, orangutan tidak hidup dalam sekawanan yang besar. Mereka merupakan hewan yang semi-soliter. Orangutan jantan biasanya ditemukan sendirian dan orangutan betina biasanya ditemani oleh beberapa anaknya. Walaupun oranutan sering memanjat dan membangun tempat tidur di pohon, mereka pada intinya merupakan hewan terrestrial(menghabiskan hidup di tanah).

Beberapa fakta menarik
  • Orangutan dapat menggunakan tongkat sebagai alat bantu untuk mengambil makanan, dan menggunakan daun sebagai pelindung sinar matahari.
  • Orangutan jantan terbesar memiliki rentangan lengan (panjang dari satu ujung tangan ke ujung tangan yang lain apabila kedua tangan direntangkan) mencapai 2.3 m.
  • Orangutan jantan dapat membuat panggilan jarak jauh yang dapat didengar dalam radius 1 km. Digunakan untuk menandai/mengawasi arealnya, memanggil sang betina, mencegah orang utan jantan lainnya yang mengganggu. Mereka mempunyai kantung tenggorokan yang besar yang membuat mereka mampu melakukannya.

Populasi
Orangutan saat ini hanya terdapat di Sumatra dan Kalimantan, di wilayah Asia Tenggara. Karena tempat tinggalnya merupakan hutan yang lebat, maka sulit untuk memperkirakan jumlah populasi yang tepat. Di Borneo, populasi orangutan diperkirakan sekitar 55.000 individu. Di Sumatra, jumlahnya diperkirakan sekitar 7.500 individu.

Ancaman
Ancaman terbesar yang tengah dialami oleh orangutan adalah habitat yang semakin sempit karena kawasan hutan hujan yang menjadi tempat tinggalnya dijadikan sebagai lahan kelapa sawit, pertambangan dan pepohonan ditebang untuk diambil kayunya. Orangutan telah kehilangan 80% wilayah habitatnya dalam waktu kurang dari 20 tahun. Tak jarang mereka juga dilukai dan bahkan dibunuh oleh para petani dan pemilik lahan karena dianggap sebagai hama. Jika seekor orangutan betina ditemukan dengan anaknya, maka induknya akan dibunuh dan anaknya kemudian dijual dalam perdagangan hewan ilegal. Pusat rehabilitasi didirikan untuk merawat oranutan yang sakit, terluka dan yang telah kehilangan induknya. Mereka dirawat dengan tujuan untuk dikembalikan ke habitat aslinya.

Pembukaan Lahan dan Konversi Perkebunan Sawit
Di Sumatra, populasinya hanya berada di daerah Leuser, yang luasnya 2.6 juta hektar yang mencakup Aceh dan Sumatra Utara. Leuser telah dinyatakan sebagai salah satu dari kawasan keanekaragaman hayati yang terpenting dan ditunjuk sebagai UNESCO Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera pada tahun 2004. Ekosistemnya menggabungkan Taman Nasional Gunung Leuser, tetapi kebanyakan para Orangutan tinggal diluar batas area yang dilindungi, dimana luas hutan berkurang sebesar 10-15% tiap tahunnya untuk dijadikan sebagai area penebangan dan sebagai kawasan pertanian.

Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami berkurangnya jumlah hutan tropis terbesar didunia. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan berkurangnya laju deforestasi. Sekitar 15 tahun yang lalu, tercatat sekitar 1.7 juta hektar luas hutan yang terus ditebang setiap tahunnya di Indonesia, dan terus bertambah pada tahun 2000 sebanyak 2 juta hektar.

Penebangan legal dan ilegal telah membawa dampak penyusutan jumlah hutan di Sumatra. Pembukaan hutan sebagai ladang sawit di Sumatra dan Kalimantan juga telah mengakibatkan pembabatan hutan sebanyak jutaan hektar, dan semua dataran hutan yang tidak terlindungi akan mengalami hal yang sama nantinya.

Konflik mematikan yang sering terjadi di perkebunan adalah saat dimana Orangutan yang habitatnya makin berkurang karena pembukaan hutan harus mencari makanan yang cukup untuk bertahan hidup. Spesies yang dilindungi dan terancam punah ini seringkali dipandang sebagai ancaman bagi keuntungan perkebunan karena mereka dianggap sebagai hama dan harus dibunuh.

Orangutan biasanya dibunuh saat mereka memasuki area perkebunan dan merusak tanaman. Hal ini sering terjadi karena orangutan tidak bisa menemukan makanan yang mereka butuhkan di hutan tempat mereka tinggal.

Perdagangan Ilegal
Secara teori, orangutan telah dilindungi di Sumatra dengan peraturan perundang-undangan sejak tahun 1931, yang melarang untuk memiliki, membunuh atau menangkap orangutan. Tetapi pada prakteknya, para pemburu masih sering memburu mereka, kebanyakan untuk perdagangan hewan. Pada hukum internasional, orangutan masuk dalam Appendix I dari daftar CITES(Convention on International Trade in Endangered Species) yang melarang dilakukannya perdagangan karena mengingat status konservasi dari spesies ini dialam bebas. Namun, tetap saja ada banyak permintaan terhadap bayi orangutan, baik itu permintaan lokal, nasional dan internasional untuk dijadikan sebagai hewan peliharaan. Anak orangutan sangat bergantung pada induknya untuk bertahan hidup dan juga dalam proses perkembangan, untuk mengambil anak dari orangutan maka induknya harus dibunuh. Diperkirakan, untuk setiap bayi yang selamat dari penangkapan dan pengangkutan merepresentasikan kematian dari orangutan betina dewasa.

Menurut data dari website WWF, diperkirakan telah terjadi pengimporan orangutan ke Taiwan sebanyak 1000 ekor yang terjadi antara tahun 1985 dan 1990. Untuk setiap orangutan yang tiba di Taiwan, maka ada 3 sampai 5 hewan lain yang mati dalam prosesnya.

Perdagangan orangutan dilaporakan juga terjadi di Kalimantan, dimana baik orangutan itu hidaup atau mati juga masih tetap terjual.

Status Konservasi
Orangutan Sumatra telah masuk dalam klasifikasi Critically Endanger dalam daftar IUCN. Populasinya menurun drastis dimana pada tahun 1994 jumlahnya mencapai lebih dari 12.000, namun pada tahun 2003 menjadi sekitar 7.300 ekor. Data pada tahun 2008 melaporkan bahwa diperkirakan jumlah Orangutan Sumatra di alam liar hanya tinggal sekitar 6.500 ekor.

Secara historis, orangutan ditemukan di kawasan hutan lintas Sumatra, tetapi sekarang terbatas hanya didaerah Sumatra Utara dan provinsi Aceh. Habitat yang sesuai untuk Orangutan saat ini hanya tersisa sekitar kurang dari 900.000 hektar di pulau Sumatra.

Saat ini diperkirakan orangutan akan menjadi spesies kera besar pertama yang punah di alam liar. Penyebab utamanya adalah berkurangnya habitat dan perdagangan hewan.

Orangutan merupakan spesies dasar bagi konservasi. Orangutan memegang peranan penting bagi regenerasi hutan melalui buah-buahan dan biji-bijian yang mereka makan. Hilangnya orangutan mencerminkan hilangnya ratusan spesies tanaman dan hewan pada ekosistem hutan hujan.

Hutan primer dunia yang tersisa merupakan dasar kesejahteraan manusia, dan kunci dari planet yang sehat adalah keanekaragaman hayati, menyelamatkan orangutan turut menolong mamalia, burung, reptil, amfibi, serangga, tanaman, dan berbagain macam spesies lainnya yang hidup di hutan hujan Indonesia.




Membakar Kalimantan Demi Minyak Kelapa Sawit


Para Pemasok Unilever Membakar Kalimantan Demi Minyak Kelapa Sawit; Greenpeace Menuntut Moratorium Konversi Hutan
April 21, 2008

http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/press-releases/para-pemasok-unilever-membakar

Jakarta/Singapore, Indonesia — Unilever, nama dibalik berbagai merek besar dunia, termasuk sabun Dove, menyumbang perusakan hutan serta lahan gambut Indonesia, ekosistem terakhir di muka bumi yang merupakan cadangan karbon yang besar serta merupakan habitat orangutan serta satwa langka lainnya, menurut organisasi lingkungan hidup Greenpeace.

Dalam laporan yang bernada keras, bertajuk “Membakar Kalimantan”, Greenpeace membeberkan laporan baru yang menunjukkan titik-titik dimana para pemasok Unilever menghancurkan hutan gambut dan habitat orangutan demi menanam kelapa sawit, salah satu bahan penting dalam pembuatan merek sabun terkenal Unilever.

“Sungguh keterlaluan apabila hutan hujan kita terus dirusak demi produksi minyak kelapa sawit.

Kami telah berkali-kali menyerukan pemerintah Indonesia untuk menyatakan moratorium guna menyelamatkan hutan dan lahan gambut tersisa dari penghancuran hanya demi sabun dan shampo,” kata Hapsoro, juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, “Kini Greenpeace menyerukan para industri pengguna utama minyak kelapa sawit berhenti membeli dari perusahaan-perusahaan yang merusak hutan dan lahan gambut,” ujar Hapsoro.

Kerusakan hutan Indonesia terjadi lebih pesat dibandingkan negara pemilik hutan lainnya di dunia. Hal ini menjadikan Indonesia penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di muka bumi (1).

Lahan gambut yang dalam di kawasan ini ketika dikeringkan dan kemudian dibakar dalam proses mempersiapkan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit menghasilkan karbon dioksida dalam jumlah yang besar. Kawasan lahan gambut ini bertanggung jawab atas 4% dari jumlah emisi gas rumah kaca dunia (2).

Laporan dapat dilihat di sini

Laporan ini juga menjelaskan bagaimana pertumbuhan sektor kelapa sawit memberikan dampak buruk terhadap keanekaragaman hayati. Jumlah populasi orangutan merosot drastis dan terancam kepunahan(3). Dengan memetakan kawasan yang dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan kunci yang menjadi pemasok perusahaan Unilever, laporan ini menjelaskan bagaimana perusahaan dengan hubungan langsung dengan Unilever saat ini membabat habitat orangutan yang tersisa. Laporan ini juga mencakup riset lapangan yang dilakukan oleh Greenpeace di bulan-bulan awal tahun 2008.

“Kami tercengang saat mengetahui bagaimana Unilever, yang merupakan salah satu pengguna minyak kelapa sawit terbesar di dunia dan merupakan pemrakarsa utama Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO), suatu organisasi industri yang dibentuk untuk memastikan produksi minyak kelapa sawit yang ramah lingkungan, ternyata tidak melakukan apapun untuk mengehentikan para pemasok merusak hutan serta lahan gambut,” ujar Sue Connor dari Greenpeace Internasional di Jakarta, “Kecuali Unilever membersihkan segenap operasinya orangutan akan punah lebih cepat, kita kehilangan kesempatan bertindak mencegah bencana iklim.”

- Greenpeace menyerukan Unilever agar secara terbuka mendeklarasikan penghentikan perluasan lahan kelapa sawit pada kawasan hutan dan lahan gambut serta berhenti berbisnis dengan pemasok yang terus merusak hutan hujan.

- Greenpeace menyerukan pemerintah Indonesia untuk segera mendeklarasikan moratorium konversi lahan gambut dan hutan dengan kriteria minimum sebagai berikut:

1. Tidak ada perkebunan baru dalam kawasan hutan yang sudah dipetakan

2. Tidak ada perkebunan baru yang dibuka dengan cara merusak lahan gambut

3. Tidak ada perkebunan atau perluasan areal perkebunan pasca-November 2005 yang dihasilkan dari deforestasi atau merusak kawasan dengan nilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest, HCVF).

4. Tidak ada perkebunan atau perluasan areal perkebunan pada kawasan masyarakat adat atau kelompok masyarakat yang menggantungkan hidup mereka pada hutan tanpa persetujuan mereka yang diambil tanpa tekanan (free prior informed consent, FPIC).

5. Menginformasikan secara terbuka rantai lacak pasokan serta sistem segregasi yang dapat menandai dan mengecualikan minyak kelapa sawit dari kelompok yang gagal memenuhi kriteria di atas.

Greenpeace adalah organisasi kampanye yang independen, yang menggunakan konfrontasi kreatif dan tanpa kekerasan untuk mengungkap masalah lingkungan hidup, dan mendorong solusi yang diperlukan untuk masa depan yang hijau dan damai.


Catatan Kaki :

(1) Wetlands International, Peatland degradation fuels climate change, November 2006

(2)Cooking the Climate, Greenpeace Report , November 2007

(3)The Last Stand of the Orangutan; State of Emergency: Illegal Logging, Fire and Palm Oil in Indonesia’s National Parks, UNEP, Feb 2007

(4) AFP (2007) ‘Activists: Palm oil workers killing endangered Orang-Utans.
Catatan Redaksi

Menurut Pusat Perlindungan Orang-Utan (Centre for Orangutan Protection), setidaknya 1.500 orangutan mati di tahun 2006 akibat serangan yang disengaja oleh pekerja perkebunan. (4)

Sejak tahun 1900, jumlah orangutan Sumatera diperkirakan turun 91%, dengan angka terbesar di akhir abad ke-20.

Sejak tahun 1990, 28 juta hektar hutan Indonesia – dengan ukuran sama dengan Ekuador – telah dihancurkan, sebagian besar akibat pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Permintaan akan minyak kelapa sawit diperkirakan akan meningkat berlipat ganda; dua kali lipat pada tahun 2030 dan tiga kali pada tahun 2050 dibandingkan dengan tahun 2000.
Informasi visi, video, foto dan laporan

1. Tersedia foto dan video kerusakan hutan serta orangutan di lahan perkebunan kelapa sawit. 2. Tersedia video orangutan yang terluka di perkebunan kelapa sawit.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:

*
Hapsoro, Juru Kampe Hutan Greenpeace Asia Tenggara, +62 813 7848 9700
Sue Connor, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Internasional +62 813 1594 3404 / +64 21 2299 594
Adhityani Arga, Juru Kampanye Media Greenpeace Asia Tenggara +62 813 980 999 77

Lagi, Sawit Bermasalah di Kalimantan

http://www.facebook.com/notes/save-our-borneo/lagi-sawit-bermasalah-di-kalimantan/250101028369

Warga Desa Ketimpun Merasa Dibohongi
Jum'at , 08 Januari 2010 07:24 | Spirit Kalteng | Dibaca 4 kali

KUALA KAPUAS, Tabengan:

Sebelumnya kelompok tani dari Desa Pulau Keladan menuding PT RASR melanggar kesepakatan karena menabat saluran irigasi di daerah tersebut, kini giliran warga Desa Ketimpun mengadukan perusahaan bersangkutan yang dianggap hanya membodohi masyarakat terkait program plasma sawit yang dijanjikan.

Ketua Koperasi Plasma Gemilang Sejahtera Bersama Paulus Madun mengatakan, PT RASR yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit ini sudah tidak sesuai dengan rancang bangun.

Selain itu juga menurut Paulus, rencana membuka lahan pekerjaan bagi warga sekitar dalam upaya peningkatan kesejahteraan hanya isapan jempol.

Padahal, sejak penanaman perdana yang dilakukan oleh Bupati Kapuas M Mawardi, 6 April 2009, warga desa telah mengikat suatu kemitraan dengan PT RASR. Namun saat ini kondisi tanaman tidak ada perawatan sama sekali, bahkan sudah ditumbuhi semak belukar. Sedangkan janji pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan itu sampai saat ini menurut Paulus warga sekitar hanya sebagai penonton.

Sehingga demikian, masyarakat sekitar menganggap kerja sama atau kemitraan yang dilakukan oleh PT RASR hanya sebagai kedok untuk memuluskan usaha pihak perusahaan dalam hal penguasaan lahan yang ada di beberapa desa sekitar perkebunan inti.

"Saya sebagai ketua kelompok tani plasma sangat kecewa dengan pihak PT RASR karena komitmenya dalam menyejahterakan masyarakat tidak pernah terealeasikan. Apalagi tanaman sawit yang ditanam di tempat kami tidak terurus dengan baik. Yang kami takutkan kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut justru akan menyengsarakan warga karena ini juga akan menjadi beban anggota dalam menanggung utang yang akhirnya apabila tidak terbayar maka akan terjadi peralihan lahan," kata Paulus Madun, Kamis (7/1) siang.

Ditambahkan Paulus, dirinya atas nama anggota koperasi dan masyarakat Desa Ketimpun sangat berharap agar bupati segera melihat langsung bagaimana kondisnya di lapangan.

Masih menurut Paulus, mereka tidak berharap yang muluk-muluk, hanya meminta keseriusan dari pihak investor dalam hal ini PT RASR dalam mengelolan perkebunan plasma milik mereka. Karena mereka sangat berharap dengan adanya plasma ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Di tempat yang sama, salah seorang anggota Koperasi Harapan Jadi, Anang mengatakan saat ini kondisi tanaman sawit yang dilakukan pada penanaman perdana oleh bupati beberapa waktu lalu tidak bisa diharapkan, karena tanaman sawit itu sudah ditumbuhi semak belukar.

"Kami sangat mendukung program serta kebijakan bapak bupati dalam membangun harkat martabat rakyat Kabupaten Kapuas yang amanah dengan harapan meningkatkan ekonomi rakyat. Namun kalu begini yang dilakukan oleh investor, bukanya kesejahteraan rakyat yang didapat, justru rakyat jadi tambah melarat," kata Anang.

Dari penuturan Paulus, program kemitraan dan kerja sama inti plasama sawit yang dilakukan oleh PT RASR tersebut untuk Desa Ketimpun ada tiga kelompok koperasi yaitu Koperasi Gemilang Sejahtera Bersama, Koperasi Harapan Jadi, dan Koperasi Pantis Nyalong. (c-yul)

123 Spesies Baru di Jantung Kalimantan

http://www.vhrmedia.com/Ditemukan-123-Spesies-Baru-di-Jantung-Kalimantan-hamviromental3914.html

Rosmi Julitasari

VHRmedia, Bandar Seri Begawan – Katak tanpa paru-paru, serangga terpanjang di dunia, serta dan siput berwarna hijau dan kuning ditemukan di hutan terpencil Kalimantan. Ketiga spesies tersebut adalah sebagian dari 123 spesies baru yang ditemukan selama 3 tahun terakhir.
Temuan tersebut diungkap dalam laporan World Wildlife Fund berjudul “Borneo’s New World: Newly Discovered Species in the Heart Borneo, yang diluncurkan Kamis (22/3), bertepatan dengan Hari Bumi.
WWF mengadakan penelitian 3 tahun di Pulau Kalimantan, setelah Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam pada pada Februari 2007 sepakat menyisakan 2.200 juta hektare tanah untuk wilayah konservasi. Wilayah konservasi itu diberi nama The Heart of Borneo (Jantung Kalimantan). Ketiga negara juga menyepakati komitmen memperluas wilayah yang dilindungi, membangun eco wisata, dan mendukung keberlangsungan manajemen sumber daya alam.
“Selama tiga tahun melakukan penelitian independen, kami berhasil membuktikan bahwa bentuk baru kehidupan terus terjadi di tempat ini (Kalimantan),” kata Adam Tomasek, ketua peneliti The Heart of Borneo, seperti diberitakan situs WWF. “Bila wilayah yang menjadi bagian dari hutan tropis ini bisa dilestarikan untuk anak cucu, kita punya harapan untuk menemukan lebih banyak spesies baru.”
The Heart of Borneo adalah rumah bagi 10 spesies primata, 350 spesies burung, 150 spesies reptil dan amfibi, serta lebih dari 10.000 spesies tanaman yang tak dapat ditemukan di tempat lain. Peneliti juga berhasil memotret badak Kalimantan yang hamil. Saat ini diperkirakan badak Kalimantan tinggal 30 ekor.
“Penemuan yang menakjubkan ini menggarisbawahi pentingnya usaha kita untuk melaksanakan visi yang secara nyata telah dilakukan oleh The Heart of Borneo,” kata Menteri Industri dan Sumber Daya Alam Brunei Darussalam, Pehin Dato Yahya.
Berkaca pada banyaknya spesies yang ditemukan setiap bulan, WWF menetapkan wilayah The Heart of Borneo sebagai prioritas program The Heart of Borneo Initiative. Kantor WWF di Malaysia dan Indonesia menyatakan mendukung usaha melestarikan dan meneruskan pengelolaan The Heart of Borneo. (E1)

Rabu, 28 Juli 2010

Suku Dayak #2

Suku Dayak terdiri :
* Suku Dayak Punan di Kalimantan Tengah
* Suku Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat
* Suku Dayak Iban di Kalimantan Barat
* Suku Dayak Mualang di Kalimantan Barat: Sekadau, Sintang
* Suku Dayak Bidayuh di Kalimantan Barat: Sanggau
* Suku Dayak Mali di Kalimantan Barat
* Suku Dayak Seberuang di Kalimantan Barat: Sintang
* Suku Dayak Sekujam di Kalimantan Barat: Sintang
* Suku Dayak Sekubang di Kalimantan Barat: Sintang
* Suku Dayak Ketungau di Kalimantan Barat
* Suku Dayak Desa di Kalimantan Barat
* Suku Dayak Kantuk di Kalimantan Barat
* Suku Dayak Ot Danum atau Dohoi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat
* Suku Dayak Limbai di Kalimantan Barat
* Suku Dayak Kebahan di Kalimantan Barat
* Suku Dayak Pawan di Kalimantan Barat
* Suku Dayak Tebidah di Kalimantan Barat
* Suku Dayak Bakumpai di Kalimantan Selatan Barito Kuala
* Suku Dayak Barangas di Kalimantan Selatan Barito Kuala
* Suku Dayak Bukit di Kalimantan Selatan
* Suku Dayak Pitap di Awayan, Balangan, Kalsel
* Suku Dayak Hulu Banyu di Kalimantan Selatan
* Suku Dayak Balangan di Kalimantan Selatan
* Suku Dayak Dusun Deyah di Kalimantan Selatan: Tabalong
* Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah: Kabupaten Kapuas
* Suku Dayak Siang Murung di Kalimantan Tengah: Murung Raya
* Suku Dayak Bara Dia di Kalimantan Tengah: Barito Selatan
* Suku Dayak Ot Danum di Kalimantan Tengah
* Suku Dayak Lawangan di Kalimantan Tengah
* Suku Dayak Bawo di Kalimantan Tengah: Barito Selatan
* Suku Dayak Tunjung, Kutai Barat, rumpun Ot Danum
* Suku Dayak Benuaq, Kutai Barat, rumpun Ot Danum
* Suku Dayak Bentian, Kutai Barat, rumpun Ot Danum
* Suku Dayak Bukat, Kutai Barat
* Suku Dayak Busang, Kutai Barat
* Suku Dayak Ohong, Kutai Barat
* Suku Dayak Kayan, Kutai Barat, rumpun Apo Kayan
* Suku Dayak Bahau, Kutai Barat, rumpun Apo Kayan
* Suku Dayak Penihing, Kutai Barat, rumpun Punan
* Suku Dayak Punan, Kutai Barat, rumpun Punan
* Suku Dayak Modang, Kutai Timur, rumpun Punan
* Suku Dayak Basap, Bontang-Kutai Timur
* Suku Dayak Ahe di Kabupaten Berau
* Suku Dayak Tagol, Malinau, rumpun Murut
* Suku Dayak Brusu, Malinau, rumpun Murut
* Suku Dayak Kenyah, Malinau, rumpun Apo Kayan
* Suku Dayak Lundayeh, Malinau
* Suku Dayak Pasir di Kalimantan Timur: Kabupaten Pasir
* Suku Dayak Dusun di Kalimantan Tengah
* Suku Dayak Maanyan di Kalimantan Tengah: Barito Timur
o Suku Dayak Maanyan Paju Sapuluh
o Suku Dayak Maanyan Paju Epat
o Suku Dayak Maanyan Dayu
o Suku Dayak Maanyan Paku
o Suku Dayak Maanyan Benua Lima Maanyan Paju Lima
o Suku Dayak Warukin di Tanta, Tabalong, Kalsel
o Suku Dayak Samihim, Pamukan Utara, Kotabaru, Kalsel

Suku Kutai

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Kutai

Suku Kutai adalah suku asli di kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kebudayaan Kutai berawal sejak berdirinya Kerajaan Kutai pada abad IV yang merupakan kerajaan Hindu pertama di Nusantara dengan rajanya yang terkenal, Mulawarman.

Kemudian berlanjut dengan Kesultanan Kutai dengan sultan terakhir Aji Parikesit. Setelah kekosongan yang lama telah diadakan penabalan sultan baru yaitu Aji Muhammad Salehuddin II.

Suku Kutai terdiri atas 4 sub-etnis yaitu :
1. Kutai Tenggarong di Tenggarong, Kutai Kartanegara
2. Kutai Kota Bangun di Kota Bangun, Kutai Kartanegara
3. Kutai Muara Ancalong di Muara Ancalong, Kutai Timur
4. Kutai Muara Pahu di Muara Pahu, Kutai Barat

Menurut situs "Joshua Project" suku Melayu Kutai Tenggarong berjumlah 314.000 jiwa.

Suku Kutai lainnya adalah Melayu Kutai Kota Bangun. Menurut situs "Joshua Project" suku Melayu Kutai Kota Bangun berjumlah 81.000 jiwa.

Bahasa Kutai terbagi ke dalam 3 dialek yang letaknya tidak saling berdekatan :
1. Kutai Tenggarong ( vkt )
2. Kutai Kota Bangun ( mqg )
3. Kutai Muara Ancalong ( vkt )

Disamping memiliki beberapa persaamaan kosa kata dengan bahasa Banjar, Bahasa Kutai juga memiliki persamaan kosa kata dengan bahasa Iban, misalnya :
* nade (Bahasa Kutai Kota Bangun); nadai (Bahasa Kantu'), artinya tidak
* celap (Bahsa Kutai Tenggarong; celap (Bahasa Dayak Iban, Bahasa Tunjung), jelap (Bahasa
Benuaq) artinya dingin
* balu (Bahasa Kutai Tenggarong), balu (Bahasa Iban, balu' Bahasa Benuaq), artinya janda
* hek (Bahasa Kutai Tenggarong), he' (Bahasa Tunjung), artinya tidak

Menurut kepercayaan penduduk, daerah Kutai dulunya dihuni oleh 5 puak, yaitu:
  1. Puak Pantun yang tinggal di sekitar Muara Ancalong, Kutai Timur dan Muara Kaman, Kutai Kartanegara
  2. Puak Punang yang tinggal di sekitar Muara Muntai, Kutai Kartanegara dan Kota Bangun
  3. Puak Pahu yang mendiami daerah sekitar Muara Pahu, Kutai Barat
  4. Puak Tulur Dijangkat yang mendiami daerah sekitar Barong Tongkok, Kutai Barat dan Melak, Kutai Barat
  5. Puak Melani yang mendiami daerah sekitar Kutai Lama dan Tenggarong

* Kelompok Suku Melayu
Puak Pantun, Punang dan Melani tumbuh dan berkembang menjadi suku Kutai yang memiliki bahasa sama namun beda dialek. Dengan demikian suku Kutai adalah suku asli daerah ini. Selanjutnya secara bergelombang berdatangan suku Banjar dan Bugis, sehingga kelompok suku Melayu yang mendiami daerah Kutai terdiri atas suku Kutai, Banjar dan Bugis.

* Kelompok Suku Dayak
Keturunan Puak Tulur Dijangkat tumbuh dan berkembang menjadi suku Dayak. Mereka berpencar meninggalkan tanah aslinya dan membentuk kelompok suku masing-masing yang sekarang dikenal sebagai suku Dayak Tunjung, Bahau, Benuaq, Modang, Penihing, Busang, Bukat, Ohong dan Bentian.
  1. Suku Tunjung mendiami daerah kecamatan Melak, Kutai Barat, Barong Tongkok, Kutai Barat dan Muara Pahu, Kutai Barat
  2. Suku Bahau mendiami daerah kecamatan Long Iram, Kutai Barat dan Long Bagun, Kutai Barat
  3. Suku Benuaq mendiami daerah kecamatan Jempang, Kutai Barat, Muara Lawa, Kutai Barat, Damai, Kutai Barat dan Muara Pahu, Kutai Barat
  4. Suku Modang mendiami daerah kecamatan Muara Ancalong, Kutai Timur dan Muara Wahau, Kutai Timur
  5. Suku Penihing, suku Bukat dan suku Ohong mendiami daerah kecamatan Long Apari, Kutai Barat
  6. Suku Busang mendiami daerah kecamatan Long Pahangai, Kutai Barat
  7. Suku Bentian mendiami daerah kecamatan Bentian Besar, Kutai Barat dan Muara Lawa, Kutai Barat

Dayak Wehea

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Wehea

Suku Wehea atau Dayak Wehea adalah suku Dayak yang mendiami enam desa di kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur terutama Desa Nehes Liah Bing dengan Kepala Adat dipimpin oleh Ledjie Taq. Suku Wehea menjaga hutan lindung yaitu Hutan Lindung Wehea. "Keldung Laas Wehea Long Skung Metgueen." Deretan kata dalam bahasa Dayak Wehea itu berarti sebuah aturan: perlindungan dan pemanfaatan terbatas hutan Wehea. Adalah Ladjie Taq, kepala adat suku Wehea, bersama beberapa tokoh adat Wehea lainnya yang menetapkan aturan itu sejak tahun 2005. Dengan itu, hutan seluas 38.000 hektare yang terletak di Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur, tersebut resmi menjadi kawasan hutan lindung yang dijaga secara adat oleh masyarakat Dayak Wehea. Desa Nehes Liah Bing dihuni oleh suku Dayak Wehea, yang merupakan suku tertua di aliran Sungai Wehea, atau yang sekarang lebih dikenal dengan Sungai Wahau karena kata "Wehea" sulit diucapkan oleh orang luar.

Dayak Kayan

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Kayan

Suku Kayan adalah suku Dayak dari rumpun Kenyah-Kayan-Bahau yang berasal dari Sarawak. Ketika memasuki Kalimantan Timur suku Kayan pertama-tama menetap di daerah Apau Kayan di daerah aliran sungai Kayan, karena alasan perang antar suku dan mencari daerah yang lebih subur serta daerah asal (Apo Kayan) yang sangat tertinggal dan terisolir, suku Kayan meninggalkan Apo Kayan yang telah mereka tempati selama 300 tahun dan bermigrasi menuju daerah-daerah yang lebih maju agar dapat lebih berkembang kehidupannya, yaitu sekarang menetap di daerah aliran sungai Wahau (daerah Suku Wehea) di Kabupaten Kutai Timur terutama di Desa Miau Baru sejak tahun 1964. Diperkirakan pada zaman Kerajaan Kutai Martadipura (Kutai Mulawarman), suku Kayan belum memasuki Kalimantan Timur. Kemungkinan suku Kayan ini termasuk salah satu suku yang belakangan memasuki pulau Kalimantan dari pulau Formosa (Taiwan). Suku Kayan juga terdapat di sungai Mendalam, Kalimantan Barat. Di Kalimantan Barat, pada sekitar tahun 1863, suku Iban bermigrasi ke daerah hulu sungai Saribas dan sungai Rejang, dan menyerang suku Kayan di daerah hulu sungai-sungai dan terus maju ke utara dan ke timur. Perang dan serangan pengayauan menyebabkan suku-suku lain terusir dari lahannya.

Dayak Iban

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Iban

Suku Iban atau Suku Dayak Iban, adalah salah satu rumpun suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat, Sarawak dan Brunei. Selama masa kolonial Inggris, kelompok Dayak Iban sebelumnya dikenal sebagai Dayak Laut (bahasa Inggris:Sea Dayak).

Suku-suku yang termasuk rumpun Iban (Ibanic) dengan kode bahasa : IBA, diantaranya :
1. Suku Iban di Kalimantan Barat ber-Bahasa Dayak Iban(kode bahasa : IBA)
2. Suku Iban di Sarawak, Malaysia(kode bahasa : IBA)
3. Suku Iban di Brunei (Persatuan Iban Brunei)(kode bahasa : IBA)
4. Suku Mualang (kode bahasa : MTD)
5. Suku Seberuang (Sintang), (kode bahasa : SBX)
6. Suku Melanau (kode bahasa : IBA)
7. Suku Kantuk (kode bahasa : IBA)
8. Suku Bugau (kode bahasa : IBA)
9. Suku Desa (kode bahasa : IBA)
10. Suku Ketungau di (Ketungau Hulu, Sintang) (kode bahasa : IBA)
11. Suku Batang Lupar (Batang Lupar, Kapuas Hulu) (kode bahasa : IBA)

Dayak Abal

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Abal

Suku Abal atau Dayak Abal adalah salah satu kelompok suku Dayak yang berdiam di Desa Halong Dalam, Desa Aong, dan Desa Suput. Ketiga desa ini merupakan bagian wilayah administratif Kecamatan Haruai, Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan. Kecamatan Haruai yang luasnya 861,27 km2 pada tahun 1990 berpenduduk 21.948 jiwa, namun tidak tersedia data jumlah orang Dayak Abal di antara jumlah tersebut. Orang Abal ini mempunyai bahasa sendiri yakni bahasa Abal. Antara sesamanya mereka menggunakan bahasa Abal sebagai bahasa ibu, namun dengan orang luar misalnya dengan orang Banjar, atau Dayak Maanyan, Dayak Dusun Deyah yang penduduk asal di kabupaten ini, mereka menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa pengantar. Pengaruh orang Banjar menyebabkan mereka telah lama memeluk agama Islam, dan asimilasi dengan orang Banjar ini terjadi sedemikian rupa sehingga budaya lama mereka sendiri sudah hampir-hampir punah. Seperti penduduk Kabupaten Tabalong umumnya, mereka hidup dari sektor pertanian dan hasil hutan.

Bahasa Abal
Bahasa Abal merupakan bahasa yang berada diambang kepunahan, karena hanya segilintir orang-orang tua saja yang masih menggunakan bahasa tersebut, sedangkan generasi muda suku Abal lebih menggunakan bahasa daerah lainnya.

Dayak Rumpun Punan

http://id.wikipedia.org/wiki/Rumpun_Punan

Rumpun Punan adalah salah satu rumpun suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Suku-suku Dayak yang termasuk rumpun Punan diantaranya :
1. Suku Hovongan di Kapuas Hulu, Kalbar (kode bahasa : HOV)
2. Suku Uheng Kereho di Kapuas Hulu, Kalbar (kode bahasa : XKE)
3. Suku Punan Murung di Murung Raya, Kalteng (kode bahasa : )
4. Suku Aoheng (Suku Penihing) di Kalimantan Timur (kode bahasa : PNI )
5. Suku Punan Merah (Siau) (kode bahasa : PUF)
6. Suku Punan Aput (kode bahasa : PUD )
7. Suku Merap (kode bahasa : PUC )
8. Suku Punan Tubu (kode bahasa : PUJ )
9. Suku Ukit/Suku Bukitan/Suku Beketan (kode bahasa : BKN )
10. Suku Bukat (kode bahasa : BVK )
11. Suku Punan Habongkot (kode bahasa : )
12. Suku Panyawung (kode bahasa : )
13. Suku Punan Kelay di Sungai Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur

Punan Murung
Suku Dayak Punan di Kalimantan Tengah terdapat di perhuluan sungai Barito yaitu di Kabupaten Murung Raya yang dikenal sebagai Suku Dayak Punan Murung. Kebanyakan suku-suku Dayak di Kalimantan Tengah termasuk rumpun Ot Danum kecuali suku Dayak Punan Murung.

Punan Hovongan

Dayak Punan merupakan salah satu subsuku Dayak yang mendiami perhuluan Sungai Kapuas. Etnis yang dulunya merupakan bangsa nomaden, kini lebih menetap dan mempraktekan sistem pertanian gilir balik (berladang). Sub etnis dayak Punan yang mendiami perhuluan Sungai Hovongan (Bungan), anak sungai Kapuas yang terdiri dari beberapa kampung:
1. Nanga Lapung
2. Nanga Bungan
3. Tanjung Lokang
4. Belatung (sebagian)
5. Hovo'ung (sebagian)

Kepala Adat
Kelompok ini mempunyai seorang Temenggung yaitu "Akek Dalung Tapa" (*baru meninggal dunia akhir bulan juni 2009) dan sekarang digantikan oleh putra bungsunya yaitu Temenggung Abang Dalung (2009)

* Temenggung dan Kepala adat mempunyai peran yang berbeda, Kepala adat lebih kepada adat istiadat sedangkan Temenggung mempunyai peran penting dalam kedaulatan wilayah ketemenggungan.

Bahasa Hovongan
Kode Bahasa Hovongan adalah HOV

Punan Uheng Kereho
Yaitu sub suku Punan yang mendiami perhuluan sungai Kapuas dan Sungai keriau/Kereho sub ini terdiri dari beberapa kampung:
1. Nanga Enap
2. Nanga Erak
3. Nanga Balang
4. Sepan
5. Salin
6. Bu'ung (sebagian)
7. Belatung (sebagian)

Bahasa Uheng Kereho
Kode Bahasa Uheng Kereho adalah xke

Daerah ketemenggungan Dayak Punan ini dapat dijangkau dengan menggunakan transportasi sungai dari Putussibau dengan biaya sewa speed boat bervariasi dari satu juta sampai tiga juta lima ratus ribu rupiah. Sumber daya alamnya masih melimpah ruah; seperti sarang burung walet dan kekayaan pertambangan lainnya. Akan tetapi karena terlalu jauhnya wilayah ini, banyak dari masyarakat suku ini terisolasi dari dunia luar sehingga tingkat perekonomian serta pendidikan sampai sekarang dalam tingkat yang mengkhawatirkan.

Di setiap kampung-kampung orang Punan anak yang bersekolah hingga menamatkan pendidikan dasar dapat dihitung dangan jari, apalagi yang menamatkan bangku kuliah.

Punan Kelay
Dayak Punan Hulu Kelay mendiami hulu sungai Kelay, Kabupaten Berau, Kaltim terdiri :
1. Kampung Long Suluy
2. Kampung Long Lamcin
3. Kampung Long Lamjan
4. Kampung Long Keluh
5. Kampung Long Duhung
6. Kampung Long Beliu

Dayak Bahau

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bahau

Suku Bahau/Dayak Bahau adalah suku bangsa yang terdapat di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.

Suku ini mendiami daerah kecamatan :
1. Long Iram, Kutai Barat
2. Long Bagun, Kutai Barat

Bahasa Bahau
Bahasa Bahau simbolnya "bhv".

Silsilah Bahasa Kayan-Murik
1. Kayan-Murik (17 bahasa)
1. Bahasa Kayan(Suku Kayan) :
1. Bahasa Bahau(bhv) :(Suku Bahau di Kutai Barat, Kalimantan Timur)
2. Dialek Kayan Busang [bfg] : (Suku Busang, di Kutai Barat, Kalimantan Timur
3. Dialek Kayan Wahau [whu] : (Suku Kayan Wahau di Muara Wahau, Kutai
Timur, Kalimantan Timur)
4. Dialek Kayan Mahakam [xay] : (Suku Kayan Mahakam di Kutai Barat, Kalimantan
Timur)
5. Dialek Kayan Sungai Kayan [xkn] : Suku Kayan Sungai Kayan di (Malinau,
Kalimantan Timur)
6. Dialek Kayan Baram [KYS] : Suku Kayan Baram, (Sarawak)
7. Dialek Kayan Rejang [REE] : Suku Kayan Rejang (Sarawak)
8. Dialek Kayan Mendalam[XKD] : Suku Kayan Mendalam di (Kapuas Hulu,
Kalimantan Barat)
2. Modang :
1. Bahasa Modang [mxd] : (Suku Modang di Kutai Barat, Kalimantan Timur)
2. Bahasa Segai [sge] : (Berau, Kalimantan Timur)
3. Punan Muller-Schwaner :
1. Bahasa Aoheng [pni] : (Suku Aoheng/Suku Penihing di Kutai Barat, Kalimantan
Timur)
2. Bahasa Punan Aput [pud] : (Kalimantan Timur)
3. Bahasa Punan Merah [puf] : (Kalimantan Timur)
4. Bahasa Uheng-Kereho [xke] : Suku Punan Uheng-Kereho di (Kapuas Hulu,
Kalimantan Barat)
5. Bahasa Bukat [BVK] : (Suku Bukat di Kutai Barat, Kalimantan Timur)
6. Bahasa Hovongan [HOV] : Suku Punan Hovongan di (Kapuas Hulu, Kalimantan
Barat)
4. Murik
1. Dialek Kayan Murik [MXR] : Suku Kayan Murik di (Sarawak)

Dayak Ot Danum

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Ot_Danum

Suku Dayak Ot Danum atau Dayak Dohoi adalah suku asli Kalimantan Tengah yang terdapat di hulu-hulu sungai sebelah utara provinsi ini

Dayak Lawangan

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Lawangan

Suku Lawangan merupakan salah satu dari suku-suku Dusun (Kelompok Barito bagian Timur) sehingga disebut juga Dusun Lawangan. Suku-suku Dusun termasuk golongan sukubangsa Dayak rumpun Ot Danum sehingga disebut juga Dayak Lawangan. Suku Lawangan menempati bagian timur Kalimantan Tengah.

Menurut situs "Joshua Project" suku Lawangan berjumlah 109.000 jiwa.

Organisasi suku ini adalah "Dusmala" yang menggabungkan 3 suku Dayak yaitu Dusun, Maanyan dan Lawangan".

Subetnis suku Dayak Lawangan adalah
1. Suku Dayak Benuaq
2. Suku Dayak Bentian
3. Suku Dayak Bawo
4. Suku Dayak Tunjung
5. Suku Pasir
6. Suku Tawoyan (kedekatan bahasa 77%)
7. Suku Dusun Deyah (kedekatan bahasa 53%)

Dayak Dusun Malang

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Dusun_Malang

Suku Dayak Dusun Malang atau Suku Dayak Malang adalah suku Dayak dari rumpun Ot Danum (rumpun Barito Raya) yang mendiami sebelah barat Desa Muarainu, sebelah Timur Laut kota Muara Teweh yaitu di kecamatanLahei, Barito Utara, Kalimantan Tengah. Suku ini memiliki bahasa yang memiliki persamaan dengan bahasa suku dayak Maanyan (80%).

Dayak Tunjung

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Tunjung

Suku Tunjung/Dayak Tunjung adalah suku bangsa yang terdapat di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.

Suku Tunjung mendiami daerah kecamatan :
1. Melak, Kutai Barat
2. Barong Tongkok, Kutai Barat
3. Muara Pahu, Kutai Barat
4. Desa Kelekat, Kembang Janggut, Kutai Kartanegara
5. Desa Bukit Layang, Kembang Janggut, Kutai Kartanegara
6. Desa Pulau Pinang, Kembang Janggut, Kutai Kartanegara
7. Desa Lamin Telihan, Kenohan, Kutai Kartanegara
8. Desa Teluk Bingkai, Kenohan, Kutai Kartanegara
9. Desa Lamin Pulut, Kenohan, Kutai Kartanegara

Tonyoy-Benuaq merupakan nama lain dari Tunjung-Benuaq. Kedua Suku Dayak ini merasa tidak terpisahkan baik dari segi sosial dan budaya. Namun sering pula disebutkan secara terpisah yaitu Suku Dayak Tunjung dan Suku Dayak Benuaq.

Paguyuban
Dewasa ini terdapat paguyuban/ormas untuk menyatukan kedua sub-etnis ini yaitu Sempekat Tonyoy-Benuaq (STB). STB juga merupakan anggota Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT).

STA (sepekat tonyi ASA), gabungan sepuluh kampung dengan nama akhir asa seperti Balok Asa, Juhan Asa, Ngenyan Asa, Muara Asa, Pepas ASA, ..ASA.

dayak tunjung juga terbagi dua jenis.. ada yang di sebut Tunjung Tengah, suku tersebut berdomisili di barong tongkok dan memiliki logat sedikit keras. Sedangkan dayak Tunjung Pinggir atau di sebut juga Tunjung Rentenuk dengan domisili di kecamatan Linggang Bigung memiliki logat yang halus..

Organisasi Lain
Didaerah tunjung benuaq terdapat beberapa organisasi kepemudaan seperti:
  1. KPADK (komando Pertahanan Adat Dayak Kalimantan)
  2. LPADKT ( Laskar Pertahanan Adat Dayak Kalimantan Timur)
  3. Pungawa

Dayak Seberuang

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Seberuang

Suku Seberuang atau Dayak Seberuang adalah suku Dayak dari rumpun Iban yang terdapat di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

Suku Dayak Seberuang dalam kelompok besar menetap di :
1. Kecamatan Sepauk, Sintang
2. Kecamatan Tempunak, Sintang

Suku Dayak Seberuang merupakan suatu kelompok suku Ibanik Group yang merupakan salah satu mayoritas suku yang mendiami wilayah di Kabupaten Sintang.

Menurut Sejarah, raja yang pertama memerintah di kerajaan Sintang berasal dari hulu sungai Sepauk tepatnya di daerah bukit Kujau di Hulu sungai Sepauk dan Tempunak. Selain suku Dayak Seberuang, di daerah Sepauk khususnya berdiam pula suku Dayak Sekujam dan suku Dayak Sekubang. Kedua suku Dayak ini diyakini menetap lebih awal dikawasan ini yang kemudian karena ada perpindahan secara berkelompok oleh suku Dayak Seberuang yang berasal dari Tampun Juah maka hampir seluruh kawasan di sepanjang sungai Sepauk dan sungai Tempunak ditempati oleh orang Dayak Seberuang. Selain itu, Seberuang juga merujuk pada satu kecamatan yang berada di kabupaten Kapuas Hulu yaitu Seberuang, Kapuas Hulu.

Dayak Kebahan

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Kebahan

Suku Dayak Kebahan awalnya berasal dari Tanjung Bunga (Angus), Kayan kabupaten Sintang yang kemudian menyebar kedaerah pedalaman yang sekarang masuk di kabupaten Melawi antara lain desa Engkurai, Jaba, Poring, Nusa Kenyikap (lintah) dan Kayu Bunga. Suku Dayak Kebahan pesisir sungai Melawi dan sungai Pinoh (Kampung Liang, Kelakik, Tekelak, Tanjung Lai dll) memeluk agama Islam dan sampai saat ini Dayak Kebahan yang beragama Islam menganggap dirinya Melayu. jadi Dayak Kebahan yang memeluk agama Islam sekitar 60%, 40% sisanya Kristen dan Katolik. Ciri khas dari Dayak ini nampak dalam Gawai Dayak, khususnya waktu makan bersama di rumah Betang suku ini menyebutnya "berontang panjang" . berontang panjang ialah makan bersama dengan makanan yang disusun lurus panjang seperti huruf 'i" dibaringkan dan semua penduduk makan berhadap-hadapan. Tentunya beralaskan layan dan lampit (tikar yang dianyam).

Dayak Siang Murung

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Siang_Murung

Suku Siang atau Dayak Siang Murung adalah suku asli di kabupaten Murung Raya, bagian timur laut provinsi Kalimantan Tengah.

Menurut situs "Joshua Project" suku Siang berjumlah 80.000 jiwa.

Dayak Ngaju

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Ngaju

Suku Ngaju atau Dayak Ngaju (Biadju) adalah suku asli di Kalimantan Tengah. Menurut situs "Joshua Project" suku Ngaju berjumlah 253.000 jiwa.

Suku Besar Dayak Lawangan

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Besar_Dayak_Lawangan

Suku Besar Dayak Lawangan adalah Suku Besar yang menggabungkan beberapa suku Dayak dari Rumpun Ot Danum yang memiliki kedekatan kebudayaan dan adat istiadat, yaitu
1. Suku Lawangan ( lbx )
2. Suku Pasir ( lbx )
3. Suku Benuaq ( lbx )
4. Suku Bentian ( lbx )
5. Suku Dayak Bawo ( lbx )
6. Suku Tunjung ( tjg )

Bahasa rumpun ini termasuk ke dalam bahasa Barito.

Suku Bentian adalah suku Dayak yang termasuk Suku Besar Dayak Lawangan, termasuk rumpun Ot Danum.

Suku Bentian mendiami kecamatan :
1. Bentian Besar, Kutai Barat, Kalimantan Timur
2. Muara Lawa, Kutai Barat, Kalimantan Timur

Bahasa Bentian (lbx)
Bahasa Bentian termasuk golongan bahasa Lawangan, jadi kode bahasanya sama yaitu lbx

Dayak Dusun Witu

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Dusun_Witu

Suku Dayak Dusun Witu adalah suku Dayak dari rumpun Ot Danum yang mendiami Buntok Kecil dan Desa Pendang ibukota kecamatan Dusun Utara, Barito Selatan, Kalimantan Tengah.

Bahasa Dusun Witu
Dusun Witu (duq) adalah bahasa selatan dituturkan di Borneo Kalimantan, Indonesia.

Salah satu dialek ialah Dusun Pepas.

Bahasa ini dianggap terancam. Bilangan orang yang menuturnya jatuh daripada 25,000 pada tahun 1981 ke 5,000 pada tahun 2003.

Kosakata
Sekitar 75% dari kosakata secara kasar setara dengan bahasa Maanyan, dengan 73% dari bahasa Paku. Kedua bahasa tersebut sangat terkait dengan Dusun Witu.

Dayak Benuaq

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Benuaq

Dayak Benuaq adalah salah satu anak suku Dayak di Kalimantan Timur.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli suku ini dipercaya berasal dari Dayak Lawangan sub suku Ot Danum dari Kalimantan Tengah. Lewangan juga merupakan induk dari suku Tunjung di Kalimantan Timur. Benuaq sendiri berasal dari kata Benua dalam arti luas berarti suatu wilayah/daerah teritori tertentu, seperti sebuah negara/negeri. pengertian secara sempit berarti wilayah/daerah tempat tinggal sebuah kelompok/komunitas. Menurut cerita pula asal kata Benuaq merupakan istilah/penyebutan oleh orang Kutai, yang membedakan dengan kelompok Dayak lainnya yang masih hidup nomaden. Orang Benuaq telah meninggalkan budaya nomaden. Mereka adalah orang-orang yang tinggal di "Benua", lama-kelamaan menjadi Benuaq. Sedangkan kata Dayak menurut aksen Bahasa Benuaq berasal dari kata Dayaq atau Dayeuq yang berarti hulu.

Menurut leluhur orang Benuaq dan berdasarkan kelompok dialek bahasa dalam Bahasa Benuaq, diyakini oleh bahwa Orang Benuaq justru tidak berasal dari Kalimantan Tengah, kecuali dari kelompok Seniang Jatu. Masing-masing mempunyai cerita/sejarah bahwa leluhur keberadaan mereka di bumi langsung di tempat mereka sekarang. Tidak pernah bermigrasi seperti pendapat para ahli.

  1. Salah satu versi cerita leluhur mereka adalah Aji Tulur Jejangkat dan Mook Manar Bulatn. Keduanya mempunyai keturunan Nara Gunaq menjadi orang Benuaq, Sualas Gunaq leluhurnya orang Tonyoy/Tunjung, Puncan Karnaq leluhurnya orang Kutai.
  2. Orang Benuaq di kawasan hilir Mahakam dan Danau Jempang dan sekitarnya hingga Bongan dan Sungai Kedang Pahu mengaku mereka keturunan Seniang Bumuy.
  3. Seniang Jatu dipercaya merupakan leluhur orang Benuaq di kawasan Bentian dan Nyuatan. Dikisahkan bahwa Seniang Jatu diturunkan di Aput Pererawetn, tepi Sungai Barito, sebelah hilir Kota Muara Teweh (Olakng Tiwey). Kedatangan suku (mungkin orang Lewangan, Teboyan, Dusun dan sebagainya) dari Kalimantan Tengah justru berasimilasi dengan Orang Benuaq, dan ini menyebabkan Orang Benuaq mempunyai banyak dialek.
  4. Sedangkan orang Benuaq di kawasan hulu Kedang Pahu mengaku mereka keturunan Ningkah Olo. Menurut legenda Ningkah Olo pertama kali turun ke bumi, menginjakkan kakinya di daerah yang disebut dalam Bahasa Benuaq, Luntuq Ayepm (Bukit Trenggiling). Tempat ini diyakini sebagai sebuah bukit yang merupakan ujung dari Jembatan Mahakam, Samarinda Seberang, Kota Samarinda. Sisa Suku Dayak Benuaq di Kota Samarinda, akhirnya menyingkir ke utara kota, di kawasan Desa Benangaq, Kelurahan Lempake, Kecamatan Samarinda Utara. Jadi menurut orang Dayak Benuaq justru merekalah yang pertama menjejakkan kaki di Bumi Samarinda jauh sebelum Kerajaan Kutai resmi berdiri di abad 4 M. Selanjutnya sebagian keturunannya berangsung-angsur menuju muara Sungai Mahakam bermukim di Jahitan Layar dan Tepian Batu dan sekitarnya. Sebagian yang menuju muara Mahakam, selanjutnya berlayar/berjalan ke arah selatan (Balikpapan, Paser dan Penajam). Hal ini mungkin bisa menjelaskan hubungan kekerabatan Dayak Benuaq dan Paser. Orang Benuaq di Kecamatan Bongan, Kutai Barat, berbahasa Benuaq berdialeq Paser Bawo. Sebagian lagi menuju pedalaman Sungai Mahakam. Sebagian keturunan yang masih 'tertinggal' di Tenggarong, bermukim di Kecamatan Tenggarong dan Tenggarong Seberang.
Penyebaran Geografis Suku Dayak Benuaq
Suku Dayak Benuaq dapat ditemui di sekitar wilayah Sungai Kedang Pahu di pedalaman Kalimantan Timur dan di daerah danau Jempang. Di Kalimantan Timur, sebagian besar mendiami Kutai Barat dan merupakan etnis mayoritas (+/- 60 %). Mendiami di Kecamatan Bongan, Jempang, Siluq Ngurai, Muara Pahu, Muara Lawa, Damai, Nyuwatan, sebagian Bentian Besar, Mook Manar Bulatn serta Barong Tongkok, di Kabupaten Kutai Kartanegara mendiami daerah Jonggon hingga Pondok Labu, Kecamatan Tenggarong, kawasan Jongkang hingga Perjiwa, Kecamatan Tenggarong Seberang. Bahkan Bupati Pertama Kutai Barat adalah putra Dayak Benuaq, termasuk Doktor (DR) pertama Dayak Indonesia dalam studi non-teologi juga dari putra Dayak Benuaq dari Kutai Barat.

Karena kedekatan kekerabatan Orang Benuaq dengan Orang Lawangan dan warga di sepanjang Sungai Barito umumnya, maka terdengar selentingan pada Orang Benuaq, mereka merasa layak jika Kabupaten Kutai Barat bergabung dengan wacana Provinsi Barito Raya.

Kedekatan orang Benuaq dengan orang Paser dapat disimak dari cerita rakyat Orang Paser "Putri Petung" dan "Mook Manor Bulatn" cerita rakyat orang Tonyoy-Benuaq, kedua-duanya terlahir di dalam "Betukng" atau "Petung" salah satu spesies/jenis bambu. Selanjutnya dialek orang Benuaq yang berdiam di Kecamatan Bongan sama dengan bahasa orang Paser.

Kekerabatan Orang Benuaq dengan Orang Kutai
Mengenai nama Kutai, ada pendapat bahwa itu memang bukan menunjuk nama etnis seperti yang menjadi identitas sekarang. Sebaliknya ada yang berpendapat nama Kutai selain menunjuk pada teritori. Sumpah Palapa Patih Gajah Mada di Majapahit sempat menyebutkan Tunjung Kuta, ada pula yang mengatakan tulisan yang benar adalah Tunjung Kutai. Dulu dalam buku sejarah Kutai ditulis Kutei, padahal istilah Kutei justru merupakan istilah dalam Bahasa Tunjung Benuaq, entah kapan istilah tersebut berubah menjadi Kutai. Istilah Kutai erat pula dengan istilah Kutaq – Tunjung Kutaq dalam bahasa Benuaq. Di pedalaman Mahakam terdapat nama pemukiman (kota kecamatan) bernama Kota Bangun – sekarang didiami etnis Kutai. Menurut catatan Penjajah Belanda dulu daerah ini diami orang-orang yang memelihara babi, dan mempunyai rumah bertiang tinggi. Menurut Orang Tunjung Benuaq, istilah Kota Bangun yang benar adalah Kutaq Bangun. Demikian pula di sekitar Situs Sendawar ada daerah yang namanya Raraq Kutaq (di Kec. Barong Tongkok, Kota Sendawar ibukota Kutai Barat). Kutaq dalam bahasa Tunjung atau Benuaq berarti Tuan Rumah, jadi orang Tunjung Benuaq lebih dahulu/awal menyebut istilah ini dibandingkan versi lain yang menyebut Kutai berasal dari Bahasa Cina – Kho dan Thai artinya tanah yang luas/besar.

Nama Tenggarong (ibukota Kutai Kartanegara) menurut bahasa Dayak Orang Benuaq adalah Tengkarukng berasal dari kata tengkaq dan karukng, tengkaq berarti naik atau menjejakkan kaki ke tempat yang lebih tinggi (seperti meniti anak tangga), bengkarukng adalah sejenis tanaman akar-akaran. Menurut Orang Benuaq ketika sekolompok orang Benuaq (mungkin keturunan Ningkah Olo) menyusuri Sungai Mahakam menuju pedalaman mereka singgah di suatu tempat dipinggir tepian Mahakam, dengan menaiki tebing sungai Mahakam melalui akar bengkarukng, itulah sebabnya disebut Tengkarukng, lama-kelamaan penyebutan tersebut berubah menjadi Tenggarong sesuai aksen Melayu.

Perhatikan pula nama-nama bangsawan Kutai Martadipura dan Kutai Kartenagara, menggunakan gelar Aji(id)[1] – bandingkan dengan nama Aji Tullur Jejangkat pendiri Kerajaan Sendawar (Dayak) – ayah dari Puncan Karna leluhur orang Kutai. Sisa kebudayaan Hindu yang sama-sama masih tersisa sebagai benang merah adalah Belian Kenjong, Belian Dewa serta Belian Melas/Pelas. Ketiga belian tersebut syair/manteranya menggunakan bahasa Kutai.

Sistem Kepercayaan
Animisme dan Dinamisme merupakan kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia secara umum. Bagi orang Dayak khususnya kepercayaan Dayak Benuaq lebih dari Animisme dan Dinamisme, tetapi meyakini bahwa alam semesta dan semua makhluk hidup mempunyai roh dan perasaan sama seperti manusia, kecuali soal akal.

Oleh sebab itu bagi Suku Dayak Benuaq segenap alam semesta termasuk tumbuh-tumbuhan dan hewan harus diperlakukan sebaik-baiknya dengan penuh kasih sayang. Mereka percaya perbuatan semena-mena dan tidak terpuji akan dapat menimbulkan malapetaka. Itu sebabnya selain sikap hormat, mereka berusaha mengelola alam semesta dengan se-arif dan se-bijaksana mungkin.

Meskipun sepintas kepercayaan orang Dayak Benuaq seperti polytheisme, tetapi mereka percaya bahwa alam semesta ini diciptakan dan dikendalikan oleh penguasa tunggal yaitu Letalla. Letalla mendelegasikan tugas-tugas tertentu sesuai dengan bidang-bidang tertentu, kepada para Seniang, Nayuq, Mulakng dll. Seniang memberikan pembimbingan, sedangkan Nayuq akan mengeksekusi akibat pelanggaran terhadap adat dan norma.

Fungsi Patung (Belontakng) dalam Kepercayaan Dayak Benuaq
Terjadi kesalahan anggapan termasuk para ahli, bahwa Suku Dayak membuat patung untuk mereka sembah sebagai symbol sesembahan masyarakat Dayak Benuaq. Oleh karena kesalahan persepsi ini, seringkali masyarakat Dayak Benuaq dianggap suku penyembah berhala.

Banyak jenis patung yang dibuat Suku Dayak Benuaq bukan untuk disembah atau dipuja, tetapi justru harus diludahi setiap orang yang melewatinya. Ada juga patung yang dibuat untuk mengelabui roh jahat atau makhluk halus agar tidak menggangu manusia. Jadi patung lebih daripada wujud/tanda peringatan baik untuk berbuat baik atau larangan terhadap perbuatan jahat.

Sistem Sosial dan Adat Istiadat
Masyarakat Suku Dayak Benuaq menganut system matrilineal.

Dalam rangka pengelolaan alam semesta termasuk hubungan antar mahluk hidup dan kematiannya serta hubungan dengan kosmos, haruslah sesuai dengan adat istiadat dan tata karma yang telah diwariskan oleh nenek moyang orang Benuaq. Adat istiadat dan tata karma diwariskan sama tuanya dengan keberadaan Suku Dayak Benuaq di Bumi. Orang Suku Dayak Benuaq percaya bahwa Sistem Adat yang ada bukanlah hasil budaya, tetapi mereka mendapatkan dari petunjuk langsung dari Letalla melalui para Seniang maupun melalui mimpi.

Orang Dayak Benuaq, percaya bahwa system adatnya telah ada sebelum negara ini lahir. Itu sebabnya mereka tidak menerima begitu saja, pendapat yang mengatakan bahwa dengan lahir Negara dan aturan dapat menghilangkan aturan Adat Istiadat Suku Dayak Benuaq.

Paling tidak ada 5 pilar/tiang adat Suku Dayak Benuaq :
1. Adet
2. Purus
3. Timekng
4. Suket
5. Terasi

Kelimanya harus dijalankan / menjadi pegangan dalam melaksanakan adat istiadat di Bumi, jika tidak akan terjadi ketidak adilan dan kekacauan di masyarakat. Selain itu penyimpangan baik sengaja maupun tidak sengaja oleh pemangku adat akan mendapat kutukan dari Nayuk Seniang. Perwujudan dari kutukan ini bias berbentuk kematian baik mendadak maupun perlahan-lahan, juga bias berbentuk kehidupan selalu mendapat bencana/malapetaka serta susah mendapatkan rejeki.

Lou (dibaca: lo-uu ; Lamin)
Sebagaimana masyarakat Dayak umummya, Dayak Benuaq juga mempunyai tradisi rumah panjang. Dalam masyarakat Dayak Benuaq, tidak semua rumah panjang dapat disebut Lou (Lamin).

Rumah panjang dapat disebut lou (lamin) jika mempunyai minimal 8 olakng. Olakng merupakan bagian/unit lou. Dalam satu olakng terdapat beberapa bilik dan dapur. Jadi olakng bukan bilik/kamar sebagaimana rumah besar, tetapi olakng merupakan sambungan bagian dari lou.

Banyaknya olakng dalam rumah panjang bagi Suku Dayak Benuaq dapat menunjukkan level/bentuk kepemimpinannya. Itu sebabnya rumah panjang yang besar (lou) sering disebut kampong besar atau benua. Berdasarkan pengertian ini lou seringkali berkonotasi dengan kampong atau benua.

Berdasarkan ukuran dan system kepemimpinan rumah panjang, masyarakat adapt Dayak Benuaq membedakan rumah panjang sekaligus model pemukiman masyarakat sebagai:
1. Lou (lamin)
2. Puncutn Lou / Puncutn Benua
3. Puncutn Kutaq
4. Tompokng
5. Umaq (Huma / Ladang).

Tanaa Adeut (Tanah Ulayat - Tanah Adat)
Hutan dan segala isinya bagi Suku Dayak Benuaq merupakan benda/barang adat. Itu sebabnya pengelolaannya harus berdasarkan system adat istiadat. Pada zaman Orde Baru Suku Dayak Benuaq mengalami zaman yang paling buruk. Hutan sebagai ibu pertiwi mereka disingkirkan dari orang Benuaq dengan berdalih pada Undang-Undang terutama pada Undang-Undang Agraria. Sehingga rejim Orba dengan mudah memisahkan Suku Dayak Benuaq dengan sumber satu-satu penghidupan mereka saat itu, ditambah lagi dengan disebarnya aparat keamanan dan pertahanan untuk menjadi tameng perusahaan-perusahaan HPH. Namun menjadi keanehan bahwa Orang Dayak (Benuaq)lah yang menyebabkan degradasi hutan besar-besaran sebagai dampak system perladangan bergulir, yang disebut-sebut sebagai perladangan berpindah.

Berdasarkan ciri/status hutan dapat dibedakan atas :
* Urat Batekng
* Simpukng Munan (Lembo)
* Kebon Dukuh
* Ewei Tuweletn
* Lati Rempuuq
* Lati Lajah

Berdasarkan suksesi hutan dapat dibedakan atas:
* Bengkar Bengkalutn – Bengkaar Tuhaaq (Hutan Primer)
* Bengkaar Uraaq (Hutan Sekunder Tua; 15-35 tahun)
* Urat Batekng / Batekng (Hutan Sekunder Muda ; 10-15 tahun)
* Balikng Batakng (7-10 tahun)
* Kelewako (2-3 tahun)
* Baber (1-2 tahun)
* Umaaq (huma/ladang) 0 – 1 tahun

Prosesi Adat Kematian
Prosesi adat kematian Dayak Benuaq dilaksanakan secara berjenjang. Jenjang ini menunjukkan makin membaiknya kehidupan roh orang yang meninggal di alam baka. Orang Dayak Benuaq percaya bahwa alam baqa memiliki tingkat kehidupan yang berbeda sesuai dengan tingkat upacara yang dilaksanakan orang yang masih hidup (keluarga dan kerabat).

Alam baka dalam bahasa Benuaq disebut secara umum adalah Lumut. Di dalam Lumut terdapat tingkat (kualitas) kehidupan alam baqa. Kepercayaan Orang Dayak Benuaq tidak mengenal Nereka. Perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan Orang Dayak Benuaq telah mendapat ganjaran selama mereka hidup, baik berupa tulah, kutukan, bencana/malapetaka, penderitaan dll. Itu sebabnya Orang Dayak Benuaq meyakini jika terjadi yang tidak baik dalam kehidupan berarti telah terjadi pelanggaran adat dan perbuatan yang tidak baik. Untuk menghindari kehidupan yang penuh bencana, maka orang Dayak Benuaq berusaha menjalankan adat dengan sempurna dan menjalankan kehidupan dengan sebaik-baiknya.

Secara garis besar terdapat 3 tingkatan acara Adat kematian :
1. Parepm Api
2. Kenyaw
3. Kwangkey Kewotoq (Kwangkey)

Bahasa Benuaq
Bahasa Benuaq termasuk dalam Bahasa Lawangan dengan kode bahasa lbx.

aab, akuuq - saya
ko - kamu/anda (tunggal)
ka - kamu/anda (jamak)
kaiq - kami
uhaq - dia (laki/perempuan)
ulutn - mereka
ootn, oon - apa
nceq - siapa
klemeq - bagaimana
on tulatn, on siotn - mengapa
momeq, bomeq - dimana
ituuq - ini
aruuh - itu
la duuh - ke sana
la tuuq - ke sini
bo/mo duuh - di sana
bo/mo ituuq - di sini
kakatn - mau
monyu - suka
mate - mati
bolupm - hidup
danum - air
tanaa - tanah, bumi
lati - hutan
daya - darah
uteuk - kepala
kami - tangan
bongkekng - punggung
pooq - paha
kokot/kenekng - kaki
bawe - perempuan/wanita, betina
sookng - laki
laki-lakeng - banci/waria
sunge - sungai
tasik - laut
noheun / kenohan - danau

Budaya Benuaq:

Kain Ulap Doyo
Selain Keseniannya, Suku Dayak Benuaq, terkenal dengan kain khasnya yang disebut Ulap Doyo. Ini merupakan satu-satunya kelompok Dayak yang memiliki seni kerajinan kain. Dewasa ini kerajinan Ulap Doyo hanya dijumpai di Kecamatan Jempang.

Seni Patung dan Ukir

Lagu:
1. Bedone

Seni Suara:
1. Bedeguuq
2. Berijooq
3. Ninga

Seni Berpantun:
1. Perentangin
2. Ngelengot
3. Ngakey
4. Ngeloak

Seni Tari:
1. Tari Gantar
2. Tari Ngeleway
3. Tari Ngerangkaw

Belian/Penyembuhan Penyakit:
1. Beliatn Bawo
2. Beliatn Bawe
3. Beliatn Sentiyu
4. Beliatn Kenyong
5. Beliatn Luangan
6. Beliatn Bejamu

Tolak Bala / Hajatan / Selamatan:
1. Nuak
2. Bekelew
3. Nalitn Tautn
4. Paper Maper
5. Besamat
6. Pakatn Nyahuq

Perkawinan:
1. Ngompokng

Upacara Adat Kematian:
1. Kwangkey/Kuangkay
2. Kenyeuw
3. Parepm Api/Tooq

Dayak Kenyah

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Kenyah

Suku Kenyah adalah suku Dayak yang termasuk rumpun Kenyah-Kayan-Bahau yang berasal dari daerah Baram, Sarawak. Dari wilayah tersebut suku Kenyah memasuki Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur melalui sungai Iwan di Sarawak terpecah dua sebagian menuju daerah Apau Kayan yang sebelumnya ditempati suku Kayan dan sebagian yang lainnya menuju daerah Bahau. Pergerakan suku ini menuju ke hilir akhirnya sampai ke daerah Mahakam dan akhirnya sebagian menetap di Kampung Pampang Samarinda Utara, Samarinda. Sebagian lagi bergerak ke hilir menuju Tanjung Palas.

Seni budaya suku Kenyah sangat halus dan menarik, sehingga ragam seni hias banyak dipakai pada bangunan-bangunan di Kalimantan Timur. Bukan Sahaja terdiri daripada seni ukiran tetapi tarian dan juga cara hidup.

Dayak Kadazan

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Kadazan

Suku Dayak Kadazan adalah penduduk pribumi asli yang terbesar di Sabah, Malaysia. Awalnya, orang Kadazan ini berasal dari Mongolia dan sedikit campuran Tiongkok.Orang Kadazan ini berpusat di pedalaman Sabah, yaitu Kudat, Sandakan, Tawau, dan Beluran. Di Beluran, suku Kadazan dipanggil dengan sebutan Orang Sungai atau Sumandakia Sungut. Percakapan orang Kadazan ini berasal dari bahasa Mongolia, yaitu bahasa Achimet Tori. Orang Kadazan memiliki perayaan yang berbeda daripada suku lainnya, yaitu perayaan Hari Gawai, Haverst Day, Sumantuk Silopan, dan Panggangan Saimut.Orang Kadazan tidak mempunyai pengaturan dalam hal mempunyai anak, sehingga mereka cenderung memiliki banyak anak. Dalam berbagai hal, suku Kadazan memiliki tradisi kuat dalam ilmu mistik.

Suku Kadazan adalah yang kedua terbesar populasinya dari golongan orang Dusun.

Dayak Dusun

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Dusun

Suku Dayak Dusun adalah salah satu etnis Dayak terbesar di Kalimantan Tengah yang mendominasi wilayah pesisir (pantai) aliran sungai Barito (dari Barito Selatan sampai dengan Murung Raya). Namun demikian banyak dari sub suku ini menyangkal bahwa mereka berasal dari suku Dusun.

Suku Dayak Dusun dengan nama yang sama juga terdapat di negeri Sabah, tetapi berbeda rumpun yaitu masing dari rumpun Dayak Ot Danum dan Murut. Lihat pula :

* Suku Dayak Dusun Deyah di Tabalong

Dayak Mayau

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Mayau

Suku Dayak Mayau merupakan suku yang berada di pedalaman borneo tepat letaknya di provinsi Kalimantan Barat . Suku dayak Mayau termasuk rumpun suku dayak bidayuh yang sebagian besar terdapat di distrik kabupaten Sanggau, suku ini terdiri dari tujuh buah kampung. Dayak Mayau sendiri diambil berdasarkan letak geografis didaerah tersebut yang diambil dari sebuah sungai di daerah tersebut yaitu, sungai Mayau. Pemukiman suku dayak Mayau atau sering mereka menyebut identitas mereka dengan menyebut diri mereka sendiri "Bidoih Mayau" yang artinya orang darat atau suku dayak darat dari Mayau.

Asal mula
Menurut Lukas Kibas dalam bukunya "Bidoih Mayau" bahwa suku dayak Mayau berasal dari wilayah sambas (persisnya tidak diketahui) yang terdesak oleh orang-orang pantai (suku Melayu)sehingga mereka mencari wilayah yang baru ke daerah pedalaman. Akhirnya mereka sampai juga pada suatu tempat yang cocok dan subur untuk bertani maka mereka mendirikan pemukiman awal persisnya sekarang terletak gunung sebomban atau munkin pula kampung ini bernama sebomban pemukimannya dekat dengan sungai Mayau yang kelak akhirnya kampung ini terkubur dan menjadi sebuah bukit akibat tulah dan menjadi legenda bagi masyarakat suku dayak Mayau.

Legenda Bukit Sebomban
Pada suatu masa hiduplah seorang nenek dengan cucunya mereka tinggal di dalam hutan jauh dari perkampungan di sebuah gubuk reot. Mereka hidup dikucilkan oleh orang kampung karena orang kampung tidak suka melihat mereka berdua. Sang nenek dan si cucu hidup dari hasil hutan (food gathering) dengan peranti dan perkakas apa adanya. Cerita ini bermula ketika orang kampung mengadakan pesta gawai panen padi selama tujuh hari tujuh malam karena panen yang mereka dapat tahun ini melimpah ruah. Mereka mengundang kampung tetangga dari keempat penjuru untuk pergi ke pesta gawai yang diadakan oleh orang kampung, tapi satu kesalahan yang orang kampung buat yaitu tidak turut mengundang sang nenek dan sang cucu (karena adat istiadat pada zaman itu apabila mengadakan gawai semua orang harus diundang ke dalam pesta tersebut kalau tidak akan mendapat petaka). Pada suatu hari pergilah sang cucu tersebut ke kampung karena mendengar kabar bahwa orang kampung mengadakan pesta gawai dari orang-orang kampung tetangga berangkat ke pesta gawai. Si cucu maklumlah masih kecil maka dia pun berangkat menghadiri pesta tersebut tetapi sesampai di sana bukannya kemeriahan yang dia dapat tetapi si cucu mendapat perlakuan yang kasar dari orang kampung, dicemooh dan diusir. Dengan perasaan sedih dia pulang menemui neneknya dan menceritakan perlakuan orang kampung kepada neneknya. Sang nenek terenyuh hatinya mendengar cerita cucunya karena kasihan kepada cucunya lalu sang nenek menyuruh sang cucu kembali lagi ke kampung siapa tahu ada orang kampung yang masih menaruh perhatian kepada mereka. Akhirnya sang cucu pun menuruti keinginan neneknya untuk kembali ke kampung tapi apa yang terjadi perlakuan orang kampung sama seperti yang sudah-sudah malahan lebih kasar lagi layaknya seperti binatang dengan memberi si cucu tersebut dengan daging yang terbuat karet (latek) yang rasanya hambar dan alot. Si cucu membawa daging tersebut pulang kepada neneknya, sesampai di gubuk si cucu menyerahkan daging pemerian orang kampung tersebut kepada neneknya dan nenek itu memakan daging pemerian si cucu tetapi daging tersebut alot untuk dimakan dan setelah tahu bahwa daging pemerian dari orang kampung tersebut palsu maka murkalah sang nenek dan berkata "Celakalah orang kampung karena telah memperlakukan kita seperti binatang" geramnya. Lalu sang nenek menyuruh si cucu untuk pergi kepada orang kampung dengan membawa anak kucing yang didandani layaknya seperti manusia dengan sarung parang dipinggangnya dan menyuruh melepaskan anak kucing tersebut di tengah orang ramai. Si cucu pun mengikuti perintah sang nenek dan melaksanakan apa yang diperintahkan sang nenek si cucu melepaskan anak kucing tersebut ke tengah orang ramai dan ketika orang ramai tersebut melihat anak kucing tersebut sontak orang ramai tersebut meneriaki, mengolok, menertawakan, dan mencemooh anak kucing tersebut. Tak lama kemudian tiba-tiba langit berubah mendung dan gelap petir menyambar dimana-mana hujan batu pun turun seketika itu juga perkampungan tersebut berubah menjadi sebuah bukit yang diberi nama bukit sebomban dan sampai sekarang oarang Mayau masih memegang kepercayaan bahwa pamali menertawakan binatang terutama kucing.

Geografi dan alam suku Dayak Mayau Pada umumnya di lihat dari kontur muka bumi wilayah kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat ini terdiri dari sebagian besar perbukitan, kemudian didominasi oleh rawa-rawa.Wilayah ini dialiri oleh Sungai Sekayam dan dikelilingi oleh perbukitan-perbukitan yang mengurung wilayah Bonti. Hutan hujan tropis masih mendominasi tetapi pada akhir-akhir ini perkebunan sawit mulai merambah masuk dan hutan hujan tropis mulai berkurang di beberapa tempat tak terkecuali di wilayah Ketemenggungan Suku Dayak Mayau, bukan hanya perkebunan kelapa sawit juga akhir-akhir ini HPH dan peti (penambangan tanpa ijin ) juga ikut serta dalam pembabatan wilayah tersebut.

Dayak Dusun Deyah

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Dusun_Deyah

Suku Dusun Deyah atau Suku Dayak Deyah/Dayak Deah atau Suku Dayak Dusun Deyah adalah salah satu suku Dayak dari rumpun Ot Danum/rumpun Barito Raya dari kelompok Dusun yang mendiami kawasan Gunung Riut, kecamatan Upau, Muara Uya, dan Haruai yang terletak di bagian utara, kabupaten Tabalong, provinsi Kalimantan Selatan. Menurut situs "Joshua Project" suku Dusun Deyah berjumlah 30.000 jiwa.

Kata 'deyah' berarti 'tidak' dalam bahasa Dusun Deyah, maksudnya suku Dayak Dusun Deyah walaupun sebagian diantaranya sudah ada yang memeluk agama Islam, tetapi mereka tetap teguh menyatakan dirinya sebagai suku Dayak, berbeda dengan sebagian suku Dayak lainnya yang beralih menyebut dirinya menjadi suku Banjar (Melayu).
Wilayah adat Muara Uya

Suku Dusun Deyah yang terdapat di Kabupaten Tabalong ini terbagi menjadi dua wilayah adat yaitu :
  1. Wilayah Adat Kampung Sepuluh, meliputi kecamatan Upau dan Haruai.
  2. Wilayah Adat Muara Uya, termasuk di dalamnya minoritas suku Lawangan di desa Binjai, tetapi kepala adat diambil dari suku Dusun Deyah yang mayoritas di kecamatan tersebut.

Adat Kampung Sepuluh
Adat Kampung Sepuluh adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut aturan adat yang mengikat di sepuluh kampung yang terdapat pada kecamatan Bintang Ara, Haruai dan Upau. Kesepuluh kampung tersebut merupakan satu kesatuan wilayah adat Dayak dari suku Dusun Deyah yang dipimpin oleh seorang Kepala Adat Kampung Sepuluh. Wilayah kesatuan adat tersebut meliputi desa-desa, yaitu :
1. Kamintan Raya
2. Dambung Raya
3. Kaong
4. Upau Jaya
5. Pangelak
6. Dambung Suring
7. Sungai Rumbia
8. Kinarum
9. Saradang
10. Kembang Kuning
11. Nawin

Dayak Bakumpai

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bakumpai

Suku Bakumpai atau Dayak Bakumpai adalah subetnis rumpun Dayak Ngaju yang mendiami sepanjang tepian daerah aliran sungai Barito di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yaitu dari kota Marabahan, Barito Kuala sampai kota Puruk Cahu, Murung Raya. Suku Bakumpai berasal bagian hulu dari bekas Distrik Bakumpai sedangkan di bagian hilirnya adalah pemukiman orang Barangas (Baraki). Sebelah utara (hulu) dari wilayah bekas Distrik Bakumpai adalah wilayah Distrik Mangkatip (Mengkatib) merupakan pemukiman suku Dayak Bara Dia atau Suku Dayak Mangkatip. Suku Bakumpai maupun suku Mangkatip merupakan keturunan suku Dayak Ngaju dari Tanah Dayak.

Menurut situs "Joshua Project" suku Bakumpai berjumlah 41.000 jiwa.

Populasi suku Bakumpai di Kalimantan Selatan pada sensus penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik berjumlah 20.609 jiwa. Di Kalimantan Selatan, suku Bakumpai terbanyak terdapat di kabupaten Barito Kuala sejumlah 18.892 jiwa (tahun 2000).

Kabupaten yang terdapat suku Bakumpai :
  • Barito Kuala (kecamatan Bakumpai, Tabukan dan Kuripan)
  • Barito Selatan
  • Barito Utara
  • Murung Raya
  • Katingan, berupa enclave
  • Sebagian suku Bakumpai bermigrasi dari hulu sungai Barito menuju hulu sungai Mahakam, yaitu ke Long Iram, Kutai Barat, Kalimantan Timur.

Hampir seluruh suku Bakumpai beragama Islam dan relatif sudah tidak nampak religi suku seperti pada kebanyakan suku Dayak (Kaharingan). Upacara adat yang berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan lama, misalnya ritual "Badewa" dan "Manyanggar Lebu".

Menurut Tjilik Riwut, Suku Dayak Bakumpai merupakan suku kekeluargaan yang termasuk golongan suku (kecil) Dayak Ngaju. Suku Dayak Ngaju merupakan salah satu dari 4 suku kecil bagian dari suku besar (rumpun) yang juga dinamakan Dayak Ngaju (Ot Danum).

Mungkin ada pula yang menamakan rumpun suku ini dengan nama rumpun Dayak Ot Danum. Penamaan ini juga dapat dipakai, sebab menurut Tjilik Riwut, suku Dayak Ngaju merupakan keturunan dari Dayak Ot Danum yang tinggal atau berasal dari hulu sungai-sungai yang terdapat di kawasan ini, tetapi sudah mengalami perubahan bahasa. Jadi suku Ot Danum merupakan induk suku, tetapi suku Dayak Ngaju merupakan suku yang dominan di kawasan ini.

Silsilah suku Bakumpai;
Suku Dayak (suku asal), terbagi suku besar (rumpun):
* Dayak Laut (Iban)
* Dayak Darat
* Dayak Apo Kayan / Kenyah-Bahau
* Dayak Murut
* Dayak Ngaju / Ot Danum, terbagi 4 suku kecil:
o Dayak Maanyan
o Dayak Lawangan
o Dayak Dusun
o Dayak Ngaju, terbagi beberapa suku kekeluargaan :
+ Dayak Bakumpai
+ dan lain-lain

Perbandingan hubungan suku Bakumpai dengan suku Dayak Ngaju, seperti hubungan suku Tengger dengan suku Jawa. Suku Dayak Ngaju merupakan suku induk bagi suku Bakumpai.

Organisasi suku Bakumpai yaitu "Kerukunan Keluarga Bakumpai" (KKB), merupakan partai lokal Kalimantan pada pemilu 1955.

Secara etimologis, bakumpai adalah julukan bagi suku dayak yang mendiami daerah aliran sungai barito. Bakumpai berasal dari kata ba (dalam bahasa banjar yang artinya memiliki) dan kumpai yang artinya adalah rumput.

Dari julukan ini, dapat dipahami bahwa suku ini mendiami wilayah yang memiliki banyak rumput. Menurut legenda, bahwa asal muasal suku dayak Bakumpai adalah dari suku dayak ngaju yang akhirnya berhijrah ke negeri yang sekarang disebut dengan negeri marabahan.

Pada mulanya mereka menganut agama nenek moyang yaitu Kaharingan, hal ini dapat dilihat dari peninggalan budaya yang sama seperti suku dayak lainnya. Kemudian mereka menjumpai akan wilayah itu seorang yang memiliki kharismatik, seorang yang apabila dia berdiri di suatu tanah, maka tanah itu akan ditumbuhi rumput. Orang tersebut tidak lain adalah Nabiyullah Khidir as. di dalam cerita mereka kemudian masuk agam islam dan berkembang biaklah mereka menjadi suatu suku. Suku Bakumpai adalah julukan bagi mereka, karena apabila mereka belajar agama di suatu daerah dengan gurunya khidir, maka tumbuhlah rumput dari daratan tersebut, sehingga kemudian mereka dikenal dengan suku bangsa Bakumpai.

Suku dayak Bakumpai dahulunya memiliki suatu kerajaan yang lebih tua dibandingkan dengan kerajaan daerah banjar, akan tetapi karena daya magis yang luar biasa akhirnya kerajaan ini berpindah ke sungai Barito dan rajanya dikenal dengan nama datuk Barito.

Dari daerah marabahan ini mereka menyebar ke aliran sungai Barito. Dari cerita rakyat, bahwa ada suatu daerah di kabupaten murung raya yaitu muara untu pada mulanya hanyalah suatu hutan belantara yang dikuasai oleh bangsa jin bernama untu. kemudian ada dari suku Bakumpai yang hijrah kesana dan mendiami daerah tersebut yang bernama Raghuy. sampai sekarang jika ditinjau dari silsilah orang yang mendiami muara untu, mereka menamakan moyang mereka Raguy.

Dayak Bidayuh

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Bidayuh

Suku Dayak Bidayuh merupakan sub-suku dari suku Dayak rumpun Klemantan yang merupakan sub-bagian dari kelompok Ribunic/Jangkang yang terdiri atas Dayak Ribun, Dayak Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatn, Jangkang,(Simpanbk) dll.

Daerah domisili
Suku Dayak Bidayuh adalah salah satu dari tujuh suku besar Dayak di Kalimantan (Murut, Banuaka, Ngaju, Iban, Kayan, Ma'anyan, Bidayuh),yang sebagian besar populasinya mencakup wilayah kabupaten Sanggau, Ketapang, dan sebagiannya menyebar di wilayah Sekadau dan Bengkayang. Suku Dayak Bidayuh juga banyak terdapat di daerah Noyan,Kembayan, Sanggau, Kabupaten Sanggau. Di desa Tanjung Merpati, Ngalok, Mobui, Sejuah, Sungai Bun, Tanap, dan desa-desa sekitarnya adalah basis dari bidayuh ini. Ada beberapa ahli yang sempat meneliti asal-mula bidayuh ini. Tapi, tak satupun yang otentik dan menyangkut seluruh sendi kehidiupan masyarakat bidayuh. Menurut Prof. Richard McGinn suku dayak Bidayuh memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan suku dayak Bukar-Sadong. Kedua suku dayak ini memiliki hubungan kekerabatan pula dengan saudaranya suku Rejang di Sumatera. Itulah sebabnya mengapa di Sarawak ada nama sungai Rejang, sedangkan di Sumatera ada nama suku Rejang. Nenek moyang mereka hidup di antara tiga sungai yakni sungai Rejang, sungai Bukar dan sungai Sadong. Mengapa dan bagaimana? saudara suku dayak Bidayuh dan Bukar Sadong, yakni suku Rejang ini ada di Sumatera, masih perlu diteliti lebih lanjut?.

Mata pencaharian
Kebanyakan mata pencaharian penduduk adalah berladang berpindah, petani karet, buruh serabutan. Hanya sebagian kecil yang berprofesi sebagai pegawai pemerintah dan pedagang, apalagi pejabat pemerintah. Hanya pada dekade ini ada beberapa putra daerah yang menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan.

Alasan utama mata pencaharian penduduk demikian adalah kurangnya akses ilmu pengetahuan dan teknologi serta minimnya sarana pendidikan disana. Bayangkan, anak-anak mesti berjalan sejauh puluhan kilometer dengan berjalan kaki untuk mencapai akses pendidikan. Tak mengherankan banyak orang tua yang lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan ekonomi daripada pendidikan.

Ada satu hal yang menarik dari kehidupan masyarakat dayak Bidayuh. Keadaan alam yang tidak mendukung usaha pertanian disikapi dengan membuka ladang pertanian, untuk kemudian dibakar. hal ini dilakukan untuk menggemburkan tanah. Keadaan alam yang demikian diimbangi dengan aneka tanaman hutan yang bisa dimanfaatkan sebagai makanan terutama buah-buahan. Masyarakat Bidayuh sangat jarang mengkonsumsi sayuran. Makanan sehari-hari adalah nasi dan lauk pauk yang diolah sendiri, dengan bumbu-bumbu khas dayak. Makanan mereka didominasi oleh rasa asin dan asam. Saat musim buah tiba, sebagian besar profesi berubah menjadi petani buah dadakan. Biasanya buah yang dipetik dari hutan dibawa kep asar untuk dijual. Mereka telah mengenal uang seperti halnya kita.

Agama
Mayoritas penduduk Bidayuh menganut agama Kristen Katolik, sisanya adalah Kristen Protestan, sedangkan agama Islam nyaris tidak dianut sama sekali, ini dikarenakan bahwa ajaran agama Islam mengharamkan daging babi, sementara itu secara garis besar kehidupan masyarakat dayak berhubungan dengan daging babi sebagai makanan. Etnis tionghoa disana kebanyakan sudah kawin campur dengan penduduk asli.

Dayak Mualang

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Mualang

Suku Dayak Mualang adalah salah satu sub suku Dayak Ibanic yang mendiami Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat, Indonesia, yaitu Kecamatan :
1. Belitang Hilir, Sekadau
2. Belitang, Sekadau
3. Belitang Hulu, Sekadau
4. Sepauk, Sintang dan sekitarnya.

Ciri Fisik
Menurut Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, secara rasial, manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
* Dayak Mongoloid
* Dayak Malayunoid
* Dayak Autrolo-Melanosoid
* Dayak Heteronoid

Salah satu ciri yang tampak pada orang Mualang adalah ciri fisik yang mongoloid, wajah bulat, kulit putih/kuning langsat, mata agak sipit, rambut lurus, ada juga yang ikal serta relatif tidak tinggi, dan juga dikenal dengan keramah-tamahannya, orang mualang sangat mudah membaur dengan sub suku lain. Oleh karena itu, ada banyak sekali orang-orang dari pulau seberang yang mencari nafkah didaerah mualang.contohnya orang-orang lokal/ tempatan / Dayak lainnya, kemudian dari pulau jawa, sumatera (Melayu, Batak dll).

Bahasa
Bahasa yang digunakan termasuk kelompok Ibanic group seperti halnya kelompok Ibanic Lainnya:Kantuk, bugao, desa, seberuang,Ketungau, sebaruk dan kelompok Ibanic lainnya. Perbedaannya adalah pengucapan / logat dalam kalimat dengan suku serumpun yakni pengucapan kalimat yang menggunakan akhiran kata i dan e, i dan y, misalnya: Kediri” dan Kedire”, rari dan rare, kemudian inai dan inay, pulai dan pulay dan penyebutan kalimat yang menggunakan huruf r ( R berkarat ), serta logat pengucapannya, walauun mengandung arti yang sama.

Legenda
Sekitar kurang lebih 2.000 tahun lalu, kehidupan masyarakat yang kini disebut Mualang sangat terkait dengan legenda asal usul mereka dari sebuah tempat atau wilayah yang disebut Temawai/Temawang Tampun Juah, yakni sebuah wilayah yang subur di hulu sungai Sekayam kabupaten Sanggau Kapuas, tepatnya di hulu kampung Segomun, Kecamatan Noyan.

Urang Panggau
Di masa lalu masyarakat yang kini disebut Mualang ini hidup dan bergabung dengan kelompok serumpun Iban lainnya dan masa itu mereka tergabung sebagai masyarakat Pangau Banyau ( kumpulan orang-orang khayangan dan manusia )kemudian kesemuanya itu disebut Urang Negeri Panggau/Orang Menua artinya orang yang berasal dari tanah ini (Borneo).

Tampun Juah
'Tampun Juah' merupakan tempat pertemuan dan gabungan bangsa Dayak yang dimasa lalu yang kini disebut Ibanic group. Sebelum di Tampun Juah masyarakat Pangau Banyau hidup di daerah bukit kujau’ dan bukit Ayau, kira-kira di daerah Kapuas Hulu, kemudian pindah ke Air berurung, Balai Bidai, Tinting Lalang kuning dan Tampun Juah, dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain di mungkinkan ada yang berpisah dan membentuk suku atau kelompok lainnya. Daerah persinggahan akhir yakni di Tampun Juah. Di sana mereka hidup dan mencapai zaman Eksistensi / keemasan, dalam tiga puluh buah Rumah Panjai ( rumah panggung yang panjang ) dan tiga puluh buah pintu utama. Mereka hidup aman, damai dan harmonis.

Tampun Juah sendiri berasal dari dua buah kata yakni: Tampun dan Juah, terkait dengan suatu peristiwa yang bersejarah yang merupakan peringatan akhir terhadap suatu larangan yang tak boleh terulang selama-lamanya. Tampun sendiri adalah suatu kegiatan pelaksanaan Eksekusi terhadap dua orang pelanggar berat yang tidak dapat ditolelir, yakni dengan cara memasung terlentang dan satunya ditelungkupkan pada pasangan yang terlentang tersebut, kemudian dari punggung yang terlungkup di tumbuk dengan bambu runcing, kemudian keduanya dihanyutkan di sungai.

Kesalahan tersebut dikarenakan keduanya terlibat dalam perkawian terlarang (mali) hubungan dengan sepupu sekali (mandal). Laki-laki bernama Juah dan perempuan bernama Lemay. Eksekusi dilakukan oleh seorang yang bernama lujun (algojo / tukang eksekusi) pada Ketemenggungan Guntur bedendam Lam Sepagi/Jempa.

Penggolongan Masyarakat
Kehidupan di Tampun Juah terbagi dalam tiga Statifikasi atau penggolongan masyarakat, yakni:
  • Bangsa Masuka / Suka (kaum kaya/purih raja), seseorang yang hidupnya berkecukupan atau kaya dan termasuk kerabat orang penting / purih Raja
  • Bangsa Meluar (kaum bebas/masyarakat biasa), seorang yang hidupnya menengah kebawah, tidak terikat masalah hutang piutang dengan orang lain, atau bebas
  • Bangsa Melawang (kaum Miskin/masyarakat biasa), kelompok orang yang hidupnya miskin dan terikat kontrak kerja, untuk membayar segala hutangnya sampai lunas dan tak mempunyai kewajiban hutang lainnya

Temenggung
Selain membagi tiga tingkat penggolongan masyarakatnya, penduduk Tampun Juah juga mengatur kehidupan mereka dengan membentuk pemimpin – pemimpin di setiap rumah panjang / kampung yang disebut Temenggung, tugasnya mengatur kehidupan kearah yang teratur dan lebih baik.

Kehidupan Ritual
Selain itu, kehidupan Tampun juah juga erat hubungannya dengan kehidupan ritual dan keagamaan. Pemimpin spiritual tersebut adalah sepasang suami istri yang bernama Ambun menurun ( laki-laki ) dan Pukat Mengawang ( perempuan). Kedua orang tersebut merupakan symbol terciptanya manusia pertama ke dunia, sesuai dengan arti dari nama keduanya. Ambun menurun yaitu embun yang turun ke bumi, symbol seorang laki –laki dan pukat mengawan adalah celah – celah dari jala / pukat yang membentang, symbol wanita. Embun tersebut menerobos atau menembus celah pukat merupakan symbol hubungan intim antara pria dan wanita. Pasangan suami istri tersebut, mempunyai sepuluh orang anak yakni: Tujuh orang laki –laki dan tiga orang perempuan. Yaitu:
1. Puyang Gana ( Roh Bumi / Penguasa tanah, meninggal sewaktu lahir )
2. Puyang Belawan
3. Dara Genuk ( perempuan )
4. Bejid manai
5. Belang patung
6. Belang pinggang
7. Belang bau
8. Dara kanta” ( perempuan )
9. Putong Kempat ( perempuan )
10. Bui Nasi ( awal mula adanya nasi)

- Puyang Gana lahir tidak seperti kelahiran manusia normal, ia mempunyai kaki satu, tangan satu dan lahir dalam keadaan meninggal. Karena mempunyai tubuh yang tidak lazim atau jelek, ia diberi nama Gana, ia di kubur dibawah tangga. Ketika ada pembagian warisan ia datang dalam rupa yang menyeramkan (hantu) dan meminta bagiannya hingga karna suatu alasan maka ia mengklaim dirinya sebagai penguasa seluruh tanah dan hutan.( Baca, tentang kerajaan Sintang pada buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat hal.184 – 188 ). - Puyang Belawan lahir secara normal seperti manusia biasa. - Dara Genuk lahir kerdil atau mempunyai tangan dan kaki yang pendek, oleh sebab itu ia di sebut Dara genuk. - Bejid Manai lahir dan mempunyai sedikit kelainan pada bagian tubuhnya, yakni kemaluannya besar. Oleh sebab itulah ia disebut Bejid Manai. - Belang Patung lahir dan mempunyai kelainan pada setiap ruas tulangnya yang belang – belang, oleh sebab itu ia disebut Belang Patung. - Belang Pinggang lahir dan mempunyai pinggang yang belang, oleh sebab itu ia disebut Belang Pinggang. - Belang Bau lahir dalam keadaan belang dan tubuhnya bau, oleh sebab itu ia disebut Belang Bau. - Dara Kanta” lahir normal tetapi mempunyai Cala ( tanda hitam ) dipipinya, oleh sebab itu ia disebut Dara Kanta”. - Putong Kempat lahir dalam keadaan normal dan ia mempunyai tubuh yang indah dan kecantikannya luar biasa tak terbayangkan, Upa Deatuh / upa dadjangka” oleh sebab itu ia disebut Putong Kempat. - Bui Nasi lahir dalam keadaan aneh, karena lansung dapat bicara dan merengek minta nasi dan kelahiran inilah awal mula orang Pangau Banyau makan Nasi.2. ( Baca, tentang kerajaan Sintang pada buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat hal.185). Menyebabkan ayah dan Ibunya memohon kepada Petara untuk mengubahnya menjadi bibit padi.

Adat Istiadat Tampun Juah
Pada masa itu kehidupan di Tampun Juah diatur sesuai dengan norma –norma dan adat istiadat menyangkut kehidupan, peradaban kearah yang lebih baik hingga berkembang menjadi bangsa yang besar, kuat dan makmur. Demikian juga aturan tersebut berlaku sesama masyarakat tampun juah dan masyarakat diluarnya. Hal ini menyebabkan kehidupan masyarakat Tampun Juah semakin maju dan dikenal hingga datanglah masyarakat dari berbagai kelompok lain yang bergabung dan berlindung serta mencari kehidupan yang lebih baik di Tampun Juah. Kejayaan dan kemakmuran di Tampun Juah, telah didengar oleh para penguasa di zaman itu, hal ini menyebabkan penguasa lain diluarnya menjadi sangat iri dan berusaha untuk merebut kejayaan di Tampun Juah.

Orang Buah Kana
Di masa itu kehidupan manusia dan para Dewa serta mahluk halus, sama seperti hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, termasuklah hubungan yang sangat akrab dan harmonis antara masyarakat Tampun Juah dengan Orang Buah Kana ( Dewa pujaan ). Karena kejayaan masyarakat Tampun Juah sangat terkenal dan didengar oleh segala bangsa dan beberapa kerajaan, di suatu ketika sampailah berita itu ke kerajaan Sukadana (terletak di Kabupaten Ketapang). Kerajaan Sukadana merasa kuatir mendengar kejayaan dan semakin kuatnya persatuan masyarakat di Tampun Juah. Hal ini mendapat tanggapan yang negatif dan ditindak lanjuti dengan menyatakan perang terhadap Masyarakat Pangau Banyau / Sak Menua, yang lambat-laun menyebabkan Tampun Juah diserang oleh kerajaan Sukadana. Kerajaan Sukadana saat itu merupakan koloni dari Kerajaan Majapahit ( jawa hindu ), mereka mempunyai bala tentara yang tangguh dan sakti dari suku Dayak Beaju”/ Miajuk, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Mereka mengadakan ekspansi militer dari daerah Labai lawai ( sekarang Tamabak Rawang) Sukadana, masuk dan menyusuri sungai kapuas sampai ke teluk air daerah batu ampar menuju Tayan Sanggau, dan masuk sungai Sekayam dan terus ke hulunya, mengadakan penyerangan ke Tampun Juah. Dalam peperangan ini laskar dari Tampun Juah dengan gigih dan gagah berani berjuang melawan pasukan musuh dalam membela kedamaian di Tampun Juah, hingga menyebabkan musuh kalah dan dapat di usir. Perang yang pertama dikenal dengan nama Perang Sumpit, karena pada perang ini pasukan Tampun Juah dan pasukan lawan menggunakan sumpit yang pelurunya sangat beracun diberi ipuh (racun dari pohon tertentu).

Tampun Juah kembali aman dan damai, tetapi tidak berlansung lama karena pihak musuh yang kalah mengajak (melalui kesaktiannya) dan mempengaruhi bangsa mahluk halus ( Setan ) secara magis, menyerang Tampun Juah. Perang kedua tak bisa dihindarkan, dengan semangat yang membara masyarakat Pangau banyau, berusaha mati-matian mempertahankan wilayahnya dari serangan mahluk halus, dan akhirnya dalam peperangan ini bangsa setan dapat juga dikalahkan.

Tampun Juah untuk sementara waktu berangsur damai ternyata pihak musuh yang kalah berperang, masih belum puas, mereka berusaha menggunakan segala cara, dan dengan kesaktian yang mereka miliki, mereka mempengaruhi bangsa binatang agar menyerang Tampun Juah. Peperangan yang ketiga akhirnya terjadi, sama halnya dengan peperangan terdahulunya, bangsa binatang juga dapat dikalahkan. Karena masih kurang puas maka musuh pun mencari cara yang lain lagi yakni, dengan menanam berbagai jamur beracun diladang, dan sekitar pemukiman masyarakat Tampun Juah, Hal ini menyebabkan banyak masyarakat Tampun Juah yang keracunan, tetapi keracunan ini dapat disembuhkan menggunakan akar dan tumbuhan hutan lainnya. Setelah sembuh racun kulat itu ternyata berdampak pada perubahan intonasi bahasa, logat dan pengucapan bahasa komunikasi yang menjadi bahasa keseharian. Hal ini menyebabkan timbulnya kelompok- kelompok bahasa yang berbeda logat maupun pengucapan ( ingat menara babel dalam perjanjian lama kitab suci umat kristiani ) walaupun masih dimengerti / serumpun. ( Ibanic Group ).

Melihat perpecahan bahasa tersebut, pihak musuh memandang hal ini merupakan suatu celah kelemahan dan menjadikan hal ini sebagai ide, untuk mengalahkan masyarakat Tampun Juah. Pihak musuh tahu bahwa untuk merebut dan mengalahkan Tampun Juah tidak mampu melalui perang, melainkan dengan mengotori Tampun Juah. Pada saat keracunan terjadi dimana-mana, membuat kekuatan masyarakat Tampun Juah menjadi rapuh. Hal ini tidak disia-siakan oleh bangsa setan, sekali lagi mereka mengirimkan sihirnya yakni dengan cara mengotori setiap tempat kegiatan sehari-hari, tempat tinggal dan perabotan makan dengan Tahi. Karena terus-menerus muncul dan tak kunjung selesai dalam jangka waktu yang lama, akhirnya masyarakat Tampun Juah strees, panik dan tidak tahan lagi, menyebabkan gemparlah Tampun Juah.

Menyikapi hal itu maka para temenggung berkumpul untuk memecahkan permasalahan ini. Pekat Banyau (musyawarah) dilakukan dan dari hasil pekat, (musyawarah ) diambilah keputusan untuk meninggalkan Tampun Juah secara berangsur -angsur. Proses keberangkatan dipimpin oleh masing – masing temenggung dan yang berangkat dahulu, harus membuat lujok (tunggul kayu) atau tanda pada setiap tempat yang dijalani kelompoknya, agar diikuti oleh kelompok belakangnya dengan perjanjian: “jika kelak menemukan tempat yang subur, enak dan cocok nanti, mereka berkumpul lagi dan membina kehidupan seperti masa di Tampun Juah.3 Setelah selesai bepekat (musyawarah) maka diputuskanlah siapa yang berangkat terlebih dahulu. Orang Buah Kana (Dewa Pujaan), kembali ke khayangan, selanjutnya kelompok pertama masyarakat Pangau Banyau yang berangkat adalah:
  1. Kelompok yang kini di sebut Dayak Batang Lupar / Iban, berangkat menyusuri sungai sai, tembus ke muara sungai ketungau sampai ke Batang Lupar, Kapuas hulu. ( kisah ini dituturkan sama dan diakui oleh kelompok Dayak Iban dari Sadong, Serawak, Malaysia). Dalam pengembaraannya, dan sesudah sampai di Batang Lupar, kelompok ini kemudian terpecah dan membentuk kelompok – kelompok atau sub- sub Ibanic ( Kantuk, Undup, Gaat, Saribas, Sebuyau, Sebaruk, Skrang, Balau ) dan lain-lain yang juga menyebar dan mencari tanah dan kehidupan baru.
  2. Kelompok Ketungau. Menyusuri aliran Sungai Sai, terus masuk sungai ketungau, dan menetap disana di sepanjang sungai ketungau dan membentuk kelompok-kelompok kecil diantaranya: Bugao, Banyur, Tabun dll.
  3. Kelompok Mualang. Kelompok ini adalah kelompok yang bertahan terakhir di Tampun Juah, hal ini karena pada waktu itu kelompok ini ada pantangan pergi karena ada salah seorang yang melahirkan, setelah sekian lama kemudian kelompok ini menyusul kelompok keduanya dengan menyusuri Sungai Sai, sampai di muara sungai ketungau. Kelompok ini di pimpin oleh: Guyau Temenggung Budi, mereka membawa seorang pengawal / manok sabung / Letnan yang terkenal di zamannya bernama Mualang. Dalam perjalanannya menyusuri sungai ketungau, rombongan Guyau Temenggung Budi tersesat, hal ini dikarenakan adanya banjir yang menyebabkan tanda ( lujok ) yang dibuat pendahulunya berubah arah di terpa arus banjir, setelah sampai dimuara sungai ketungau. Hal ini menyebabkan mereka menghentikan perjalanannya untuk sekian lama. Sejalan dengan itu pengawal rombongan ( manok sabung ) bernama; Mualang meninggal dunia ditempat itu, ia dikubur disebelah kanan mudik sungai ketungau. Mualang diabadikan untuk menyebut nama anak sungai tersebut menjadi sungai Mualang dan rombongan Guyau temenggung budi mengabadikan nama kelompok yang dipimpinnya tersebut dengan nama Orang Mualang, yang berasal dari sungai Mualang dan lambat laun oleh penerusnya disebut dengan nama Dayak Mualang.4 Setelah berkabung, mereka memutuskan menetap di sungai Mualang untuk beberapa lama. Suatu hari ketika sedang mencari ikan menyusuri sungai Mualang, mereka menemukan sebuah lubuk ( teluk yang dalam ) yang banyak ikannya, kemudian berita gembira ini disampaikan ke segenap kelompok orang Mualang lainnya dan akhirnya mereka beramai – ramai mengambil ikan dilubuk tersebut.Setelah mendapatkan ikan yang banyak, segala dayung dan peralatan cari ikan lainnya mereka tenggelamkan dilubuk itu, dan lubuk itu mereka sebut dengan nama lubuk Sedayung. Selain mencari ikan mereka juga kerap kali berburu disekitar hutan sampai jauh masuk ke segala arah. Pada suatu ketika disaat sedang berburu, mereka (orang Mualang), menemukan pemburu lainnya yang mempunyai bahasa sama dengan rombongan orang Mualang, tetapi bukan dari rombongan maupun komunitas mereka. Orang tersebut mengaku berasal dari Tanah Tabo.” Berita ini kemudian di sampaikan kepada pimpinan orang Mualang, yakni; Guyau temenggung Budi yang akhirnya membawa seluruh orang – orang Mualang yang dipimpinnya untuk bergabung dengan masyarakat di Tanah Tabo”. Hingga dibatalkanlah rencana untuk mencari rombongan terdahulunya.

Penduduk Tanah Tabo'
Penduduk di Tanah Tabo’ merupakan keturunan dari keseka” Busong. Keseka” Busong kawin dengan Dara jantung, anak Petara Seniba (Dewa di khayangan), Dara jantung dihulurkan oleh Petara Seniba (ayahnya) menggunakan tali Tabo”Tengang (akar kayu) Bekarong Betung ( diselimuti bamboo betung ) anak dari keseka” Busong dan Dara jantung adalah Bujang Panjang, yang kawin mali ( terlarang ) dengan Dayang Kaman Dara Remia ( bibinya atau adik ibunya) di khayangan yang menyebabkan kakeknya (Petara Seniba) murka, dan mengusir bujang panjang kebumi tempat ayahnya berada yakni keseka” Busong. Anak hasil kawin mali mereka, menjadi berbagai macam hama padi dan lolos menyebar kebumi.

Guyau Temenggung Budi
Rombongan Mualang pimpinan Guyau Temenggung Budi kemudian berbaur dengan masyarakat Tanah tabo” selanjutnya mereka disebut dengan nama Dayak Mualang. Mereka menyebar ke Sekadau, seluruh Belitang, dan sebagian ke Sepauk, Kabupaten Sintang. Anak - Anak Ambun Menurun dan Pukat Mengawang lainnya juga menyebar mengikuti kehidupan masing – masing dan ada yang membentuk kelompok suku – suku serumpun lainnya. Salah satu anak dari Ambun Menurun dan Pukat Mengawang yaitu: Putong Kempat, kawin dengan Aji Melayu ( berasal dari Semenanjung, di masa kepercayaan hindu, sebelum masuknya Islam, hal ini diperkuat dengan kubur dan bukti peninggalan lainnya di Sepauk Kabupaten Sintang ). Demikianlah urutan silsilah perkawinan Putong kempat dengan Aji Melayu.
  1. Putong kempat ( Dayak Mualang dengan Aji Melayu ( sepauk ) Anaknya yang bernama
  2. Dayang lengkong kawin dengan Patih Selatong menurunkan
  3. Dayang Randung, kawin dengan Adipati Selatung, menurunkan
  4. Abang Panjang, kawin, menurunkan
  5. Demong Karang kawin, menurunkan
  6. Demong kara (Raja keenam kerajaan Sepauk), kawin, menurunkan
  7. Demang Minyak, kawin (Raja Kedelapan kerajaan Sepauk) menurunkan
  8. Demong Irawan, bergelar Jubair I. Kawin, menurunkan
  9. Dara Juanti (Raja kesembilan th.1385)
  10. Dara juanti kawin dengan Patih Logender dari Jawa masyarakat Kerajaan Majapahit (hindu). (buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. 1975, hal.197)

Dayak Lebang Nado
Dari turunan Putong kempat terjadilah pembauran yang melahirkan bangsa / suku yang membaur dan menyebar, berkembang hingga kini. Keturunan tersebut adalah Dara Juanti kawin dengan Patih logender. Sebagai bukti hantaran dari pihak Patih logender, maka dibawalah dua belas orang parinduk atau bukti hantaran, kemudian kedua belas orang ini membentuk komunitas disekitar Bukit kelam dan lambat laun menjadi komunitas Dayak Lebang Nado. Percampuran dari keturunan Dayak Mualang, Melayu hindu dan Jawa hindu.

Mualang Tanjung
6 Rombongan Dayak Mualang yang menyebar ke Sekadau ada yang terpecah membentuk kelompok baru; Mualang Tanjung, dan berbaur dengan kelompok lainnya Dayak Seberuang, Dayak Desa, Ketungau sesat dan sebagainya. Sebagian bercampur pula dengan rombongan kelompok Dara Nante dalam usahanya mencari Babai Cinga (suami Dara Nante). Rombongan tersebut dipimpin oleh Singa Patih Bardat dan Patih Bangi. mereka tersesat ketika menyebar mencari daerah yang disebut Tampun Juah. Rombongan Singa Patih Bardat bercampur dengan Dayak Mualang, menurunkan suku -suku kecil yakni: Dayak Kematu”, Dayak Benawas, Dayak Mualang Sekadau di daerah Lawang Kuari (Lawang Kuari, adalah Betang yang dikutuk melebur menjadi batu karena sebuah peristiwa).

Patih Bangi
Sedangkan Rombongan yang dipimpin oleh Patih Bangi menyusuri hulu sungai ke daerah yang disebut Belitang membaur kemudian disebut sebagai Dayak Mualang dan menyebar ke sekitarnya. Dayak Mualang di daerah Belitang inilah yang banyak menurunkan Raja –Raja Sekadau, dan Raja Belitang. Kerajaan kecil tersebut lambat laun pindah ke Sekadau.

Kerajaan Sekadau
Kerajaan Sekadau sendiri pernah diperintah berturut – turut oleh Keturunan Prabu Jaya dan keturunan Raja-Raja Siak Bulun / Bahulun dari sungai Keriau, Kabupaten Ketapang. Adapun Raja Sekadau pertama adalah pangeran Engkong, yang menpunyai tiga orang putra :
1. Pangeran Agong
2. Pangeran Kadar
3. Pangeran Senarong

Sesudah Pangeran Engkong (Raja Sekadau) wafat, beliau digantikan oleh Pangeran Kadar, sedangkan Pangeran Senarong, yang meneruskan keturunan Raja-Raja Belitang. Sedangkan Pangeran Agong memilih mengasingkan diri beserta pengikutnya ke tempat yang kini disebut dengan Lawang Kuwari. (Betang Panjang yang menghilang dan hingga kini tempat ini dianggap keramat ).

Kerajaan Sekadau mulai memeluk agama Islam setelah Pangeran Kadar Wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Pangeran Suma, beliau mendalami agama Islam di Mempawah. Dayak Kematu yang merupakan gabungan dari pecahan rombongan Dara Nante dan Dayak Mualang di sekitar Sekadau, adalah yang pertama memeluk agama Islam di daerah Sekadau, selanjutnya berangsur-angsur diikuti beberapa suku Dayak lainnya. mereka kemudian menyebut dirinya dengan sebutan; Senganan ( keturunan Dayak yang memeluk agama Islam). Perkembangan agama Islam di kerajaan Sekadau semakin pesat, maka pindahlah pusat kerajaan Sekadau ke sungai bara dan disitu didirikan sebuah Mesjid Besar.

Daerah Penyebaran
Daerah penyebaran Dayak Mualang, setelah Sekadau juga berkembang kedaerah Belitang dan sekitarnya dan telah banyak menurun Raja-Raja Belitang. Hal ini diawali oleh seorang gadis / Dara Mualang yang lari melewati hutan karena takut akan hukuman kakeknya terhadap pusaka yang dibekalkan padanya yakni sebuah keris telah hilang.

Berikut ceritanya; Pada suatu hari ketika sedang berjalan-jalan di hutan, gadis Mualang tersebut melihat seekor babi besar, karena terkejut dan membela diri, dengan cepat ia menikam babi tersebut dengan keris pusaka kakeknya, kemudian saking kuatnya tusukan itu, menyebabkan terlepasnya ganggang keris, hingga mata keris dibawa babi tersebut lari, oleh sebab itu ia sangat ketakutan pulang kerumah dan melarikan diri sekalian berusaha mencari keris pusaka kakeknya, hingga sampai kehulu kapuas. Dara tersebut bernama Dayang Imbok Benang, keturunan kesekak Busong. Dalam perjalanannya menyusuri hutan, ia ditemukan oleh Demong Rui, Raja dari Nanga Embaloh, kemudian diambil sebagai istri oleh Demong Rui. Selanjutnya Dayang Imbok Benang tersebut melahirkan dua orang anak, yang pertama / tua bernama: Kerandang Ari, yang ke dua / muda bernama: Abang bari.

Suatu ketika keduanya pulang untuk mencari tanah kelahiran ibu mereka yakni ke daerah Belitang, ulun (hamba) yang dibawanya meninggal dunia di sana, hamba tersebut bernama Belitang. Dulunya sungai Belitang adalah sungai Perupuk, karena ulun yang bernama Belitang tersebut meninggal maka sungai tersebut dinamakan sungai Belitang, dan daerah sekitarnya disebut daerah Belitang. Kerandang ari pulang ke Belitang bergabung dengan keturunan ibunya, menjadi bagian dari masyarakat Mualang. Sedangkan adiknya Abang Bari mengikuti ayahnya meneruskan pemerintahan Raja-Raja di Selimbau dan keturunannya merantau ke Belitang untuk meneruskan pemerintahan Raja – Raja Belitang.

Ratu Beringkak
Suatu hari ada salah seorang keturunan dari Abang Bari (selimbau) menghanyutkan diri mengikuti sungai Kapuas sampai ke Nanga Belitang. Ia bernama bernama Ratu Beringkak, seorang gadis. Saat ditolong oleh masyarakat Mualang, ia menceritakan asal usul purihnya (keturunannya) dan setelah di susun keturunannya, gadis tersebut dianggap sebagai Bangsa Masuka / Suka ( tingkat golongan tinggi atau Purih Raja ), hingga tiada satupun masyarakat lain yang berani mengawininya. Pada saat itu masyarakat Mualang dipimpin oleh Temenggung Saman Tangik, kemudian orang Mualang membawa Ratu Beringkak, ke hulu sungai Belitang, memperkenalkannya kepada seorang pedagang yang menjadi tokoh bagi masyarakat Melayu belitang yang bernama Meriju, oleh Meridju, Ratu Beringkak dijodohkan kepada seorang Mualang, dari Bangsa Masuka / Suka. Setelah pernikahan selesai, Meriju diberi gelar oleh masyarakat Mualang sebagai Kiayi, yakni; Kiyai Madju. Karena statifikasi sosial Dayak Mualang merupakan Bangsa Masuka / Suka dan lebih tinggi dibandingkan dengan suku Dayak maupun Senganan, ataupun suku melayu pedagang yang datang di Belitang maupun di Sekadau, maka orang Mualang tidak mau tunduk kepada peraturan dan perjanjian apapun, demikian juga terhadap Kiayi Madju sekalipun, atas jasanya menikahkan Ratu Beringkak.

Hal ini memicu kemarahan Kiayi madju yang akhirnya memobilisasi orang – orang Melayu untuk menyerang Dayak Mualang yang berada dihulu sungai Merian. Dalam peperangan tersebut, orang-orang Melayu dapat dikalahkan, dan dikejar hingga tercerai-berai, sebagian lari hingga ke sungai Mengkiyang Sanggau, sisanya menetap di sekitar Belitang. Orang-orang melayu masih belum puas, mereka mendatangkan empat orang kuat Melayu pada waktu itu disebut Panglima. Terhadap orang – orang Melayu yang tersisa beserta panglimanya tersebut, yang tidak mau pergi, akhirnya Dayak Mualang daerah Belitang, mengundang Dayak Mualang keturunan dari Tampun Juah di Kaki bukit rambat yang bernama; Macan singkuh. Karena Macan Singkut telah tua, maka ia mengutus anaknya yang bernama Singa Uda Letnan, untuk menghadapi sisa –sisa orang Melayu beserta panglimanya. Pertarungan antar orang kuat terjadi yakni empat orang Panglima Melayu melawan seorang Manok Sabung Mualang. Pertarungan ini dilakukan secara sportif. Akhirnya ke empat orang Panglima Melayu tersebut dapat dikalahkan, maka Kiyai Madju dan seluruh orang Melayu dan Panglimanya pergi dan pindah dari daerah Mualang ke Nanga Jungkit, dalam perpindahan tersebut Ratu beringkak ikut serta dan di Nanga Jungkit ia meninggal dunia, tetapi sebelumnya ia minta dikubur di Nanga Ansar. Sampai saat ini Nanga Jungkit dan Nanga Ansar dianggap sebagai tempat keramat.


Daftar pustaka
  1. Drake Allen Richard. “Waktu dan Keterpisahan: Suatu Metanarrative Sejarah Lisan Mualang”. Dalam Kalimantan Review. Pontianak: LP3S – IDRD, 1995.
  2. Dunselman, Donatus. Uit De Literatuur Der Mualang – Dajaks. Nederland :Koninklijk Instituut Voor Taal-,Land- En Volkenkunde, 1959.
  3. Lontaan, J. U. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Jakarta: Pemerintah Daerah TK.I Kalimantan Barat, 1975.
  4. Marie Jeanne. Penelitian Struktur Bahasa Mualang, Proyek Penelitian Sastra dan Bahasa Indonesia dan Daerah Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yogyakarta: Dep P dan K, 1975/1976.
  5. Paternus. Ngelala Adat Basa Dayak Mualang. Pontianak: Pemberdayaan Pengelolaan Sumbar Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK) Pancur kasih. 2001.
  6. Werry, SKM. Bebutie' aba'k sama dire'k. Belitang: Persatuan Pejuang Kesehatan Mualang (PPKM). 2007.